Soal Menjadi Tidak Tipikal
Di satu sore, saya ngobrol dan saling bertukar pikiran dengan Shifra Lushka, penulis buku best seller BTS, Today We Fight. Shifra adalah seorang penulis milenial yang aktif di bidang sosial. Seorang pengagum George Orwell plus tentunya BTS.
Sore itu, ada satu hal baru yang saya pelajari dari Shifra. Soal BTS.
Ceritanya begini. Di pertengahan 2015, BTS masih dipandang sebelah mata karena bukan besutan perusahaan entertainment besar. Saat itu BTS merilis sebuah lagu, ‘Dope’.
Selain menyampaikan kritik lantang mengenai permasalahan sosial, di lagu ini pun mereka menceritakan betapa ‘berbeda’-nya mereka, “I worked all night, every day, while you were playing in the club. I am different from other guys.”
Soal bekerja keras. Dan soal berbeda, tidak tipikal. Di saat yang lain main-main happy-happy, BTS membanting tulang semalaman.
Bukan tanpa alasan mengapa BTS pada akhirnya bisa dipercaya oleh United Nations untuk bicara mengenai pentingnya mencintai diri di UN General Assembly.
Mencintai diri ya….hmmmm….
Dengan Shifra, ini jelas perbincangan lintas generasi. Karena kalau soal mencintai diri sendiri, generasi saya sepertinya tidak ada masalah...
Apalagi yang membuat BTS berbeda, tidak tipikal?
Group leader BTS, Kim Namjoon aka RM, ternyata adalah seseorang yang sangat mencintai buku. Mulai dari The Catcher in the Rye karya Salinger, IQ84 karya Haruki Murakami, juga beberapa karya legendaris George Orwell. Konsep distopia khas Orwell pernah mereka gunakan untuk beberapa konsep video BTS. Misalnya di video musik ‘N.O’ yang ditujukan untuk mengkritik sistem pendidikan ala Korea.
Dengan cara yang kalem, RM merupakan penggerak bagi timnya sendiri. Akhirnya, anggota BTS yang lain pun jadi ketularan sangat menyukai membaca.
Pengaruh kebiasaan ini juga luar biasa untuk Army BTS, panggilan penggemar BTS. Contohnya, banyak Army berusaha memutar otak untuk memahami karya klasik ‘Demian’ yang dibuat oleh Hermann Hesse di tahun 1919. Karena serangkaian kisah video musik BTS menggunakan konsep perjalanan anak muda menuju dewasa yang dipaparkan dalam kisah ‘Demian’ tersebut.
Tidak berhenti sampai disitu, BTS memang sepertinya senang melihat anggota Army tertarik untuk belajar hal-hal baru.
Di album yang bertajuk ‘Map of The Soul: 7’, semua lagu yang terdapat di dalamnya terinspirasi oleh teori psikoanalisis-nya Carl Jung yang keren itu.
Intinya, baik anggota BTS maupun Army-nya tidak berdiam diri dan pasrah untuk menjadi sama dengan yang lainnya. Mungkin itu alasan kita mendengar ada Army di segmen usia 40 dan 50 tahunan.
Saya jadi paham. Bahwa BTS berani tidak tipikal dalam segala hal. Mereka menggunakan cara yang unik dengan menyajikan karya penuh referensi dan ilmu baru. Yang membuat penggemarnya berjalan ke arah peningkatan literasi dan pengembangan diri.
Yang dilakukan BTS memang dahsyat. Karena menjadi tidak tipikal itu tidak mudah. Walau jelas-jelas kita lebih cinta diri sendiri daripada mencintai orang lain, tapi kita anehnya lebih peduli pendapat orang lain daripada pendapat original kita sendiri.
Soal menjadi tidak tipikal, minggu lalu saya membaca surat untuk pemegang saham terakhir Jeff Bezos sebagai CEO Amazon. Di bagian akhir dari surat terakhirnya (pesan terpenting?), Bezos bilang bahwa diferensiasi itu identik dengan survival dan gravitasi alam semesta mau membawa kita menjadi tipikal, dan ini harus kita lawan.
Di tulisan Bezos, ada opini bahwa tubuh makhluk hidup akan balik ke titik equilibrium, selaras dengan lingkungan di saat meninggal dunia. Diukur secara temperatur, kadar keasaman, dan kadar air misalnya, makhluk hidup tidak selaras dengan lingkungannya.
Tubuh kita, misalnya, cenderung mempunyai temperatur lebih tinggi daripada sekitar kita. Di saat meninggal dunia, perbedaan temperatur ini pun menghilang. Menjadi sama dengan lingkungan sekitar.
Sebagai makhluk hidup, begitu kita tidak lagi secara aktif berusaha untuk menjadi berbeda dengan sekitar, kita akan menyatu secara sepenuhnya dengan lingkungan. Dengan kata lain, berhenti untuk eksis secara otonomi. Alias hidup kita di dunia telah selesai.
Di mata Bezos, menjadi tidak tipikal itu atribut yang super berharga. Kita sering dengar untuk “menjadi diri kita sendiri”. Tapi menjadi tidak tipikal ini perlu totalitas dan kita perlu realistis soal besarnya energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan sikap tidak tipikal tadi.
Semesta ingin kita menjadi tipikal. Oleh karenanya, kita dituntut untuk membayar harga untuk menjadi tidak tipikal. Memang tidak tipikal itu tidak mudah dan tidak gratis, bahkan mungkin juga tidak murah. Tapi tetap layak dilakukan, kalau kita mau survive apalagi kalau mau tumbuh dan berkembang.
Kalau tidak menjadi tipikal itu tidak mudah, implikasinya adalah menjadi tipikal itu mudah. Mengikuti tren semata itu pilihan yang lebih gampang untuk dilakukan. Karena kita suka enggan berpikir, konsensus dan tren suka menjadi pengganti kebenaran. Mudah, jalan pintas.
Masalahnya di mana? Kalau sesuatu sudah menjadi tren besar, berarti sudah banyak yang ikut. Sangat sulit untuk menciptakan ruang buat kita.
Dalam karir, investasi, bisnis, dan dalam hidup, mungkin pertanyaan dari Peter Thiel berikut layak untuk menjadi bahan perenungan:
How do I become less competitive in order that I can become more successful?
Bagaimana kita mengurangi fokus pada menjadi kompetitif, untuk menjadi lebih sukses?
Kedengarannya counter-intuitive, tapi masuk akal. Karena dengan tidak menjadikan kompetitor sebagai fokus, akan tercipta waktu, energi, dan ruang di pikiran kita untuk breakthrough atau terobosan. Satu momen dalam hidup di mana semuanya berubah, di mana yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Mungkin ini saatnya buat saya untuk mendaftar menjadi anggota Army BTS. Eh...apa perlu daftar ya?