Sekte Gowes
Akhirnya saya bergabung ke sekte yang lagi kekinian banget, sekte gowes.
Setelah bergulat dengan ego dan mau setia pada jalur olahraga kickboxing dan yoga, akhirnya saya menyerah. Berita mutasi virus Covid telah mengakhiri harapan saya untuk segera balik ke gym kickboxing favorit saya.
Sebenarnya soal gym favorit, kurang tepat kalau disebut demikian. Lebih tepat kalau dibilang ini satu-satunya gym yang yang masih mau terima saya. Karena biasanya saya start nge-gym malam sekali setelah semua urusan pekerjaan beres, jadi hanya gym yang baru buka dan perlu member yang masih mau menerima saya. Biasanya kalau gym sudah menjadi lebih sukses dan member membanjir, mereka akan mulai menolak perpanjangan keanggotaan saya. Dengan berbagai alasan, dari yang elegan sampai yang semi terang-terangan.
Karena alternatif kickboxing di gym belum bisa dimulai, saya merasakan perlunya alternatif kardio. Setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya saya sepakat untuk bergabung dengan sekte gowes.
Padahal dulu suka bilang gowes terlalu mainstream buat saya, whatever that means. Mungkin alasan sesungguhnya ada keengganan memulai sesuatu sebagai pemula lagi. Ternyata saya harus bergabung sekte gowes ini malah setelah menjadi makin mainstream, kalau mau meminjam bahasa yang sama.
Yang membuat saya memutuskan untuk bergabung sekte gowes adalah hadirnya pilihan indoor dan outdoor nya. Dengan membuat sepeda menjadi stationery dan software, mesin plus app yang mampu mensimulasikan outdoor experience.
Kenapa saya memakai istilah sekte?
Karena kemarin waktu mampir ke toko sepeda referensi seorang sahabat, saya melihat betapa gowes mempunyai idolanya sendiri. Dan yang lebih mengesankan adalah saya langsung disambut sebagai bagian dari keluarga besar gowes. Sudah enlightened, kurang lebih begitu.
Gowes memang istimewa. Gowes “moves people”, dalam arti psikologis spiritual maupun dalam arti sesungguhnya. Juga lumayan inklusif karena ada banyak range pilihan dan tidak memandang tingkat sosial. Gowes-er tidak peduli status sosial dan umur kalau sudah ngobrol soal pengalaman gowes ...ngobrol di mana aja di warung atau di cafe model apa aja.
Juga pada saat gowes, it is really me time…bersama tapi pada saat yang sama bisa menikmati kesendirian.
Gowes-er memiliki kebebasan memilih tujuan mereka masing-masing, entah gowes pelesir yang mengeksplorasi berbagai destinasi gowes, mengejar personal record jarak seperti Grand Fondo 100km, atau ikutan grup Peleton untuk menjadi lebih kompetitif mencapai kecepatan dan sprint sesama-nya. Atau bahkan mengejar itu semua secara virtual di rumah dengan berbagi pencapaian di aplikasi virtual ride sepert Zwift tanpa harus kehilangan suasana kebersamaannya.
Toko sepeda itu begitu sibuk melayani pembeli. Sampai-sampai attention span staf toko begitu pendek. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi jelas-jelas karena kekurangan staf. Sampai pintu besi toko ditutup sekalipun, pelanggan toko masih menyelinap masuk dan pura-pura tidak tahu kalau pintu tadinya sudah ditutup.
Perlu usaha ekstra bagi saya untuk berkomunikasi dengan staf penjual, yang sedang melayani beberapa pelanggan sekaligus. Namanya juga dagangan sedang laku keras, saya harus maklum.
Setelah melalui satu proses perjuangan, akhirnya saya berhasil memformulasikan paket sepeda yang tepat. Mungkin karena level pemula, jadi pertanyaan saya sering dianggap terlalu basic dan staf toko terheran-heran dengan pertanyaan saya, misalnya apakah celana buat bersepeda perlu dicuci setiap selesai dipakai. Tidak mungkin bisa justifikasi secara komersial untuk meminta satu staf melayani saya secara khusus.
Singkat cerita, “paket” saya yang telah selesai dirumuskan akhirnya diserahkan ke kasir. Tapi sayangnya sudah terlanjur jam tutup toko. Jadi pihak toko berjanji bahwa keesokan mereka akan kontak. Tidak lupa mereka menyambut bergabungnya saya ke Sekte Gowes.
Besok paginya kok hati berdebar-debar, menanti di kontak sales rep toko sepeda. Tapi sampai pagi berganti siang, telepon yang dinanti tak kunjung tiba. Ya sudah, saya yang telepon. Namanya juga anggota baru di sekte.
Yang rada ajaib, toko sepeda seolah harus mengulangi proses pembelian dari awal. Ditanya soal warna sepeda, misalnya. Dan apa saja aksesoris yang saya sudah setuju untuk beli. Nego harga harus mulai lagi dari titik nol. Tentu saja saya merasa agak frustasi.
Mau marah, tapi buat apa dan sama siapa. Mendingan awali komitmen baru untuk hidup lebih sehat dengan bahagia. Akhirnya bos pemilik toko turun tangan langsung dan semua masalah selesai. Happy ending, dalam konteks yang benar.
Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) memperkirakan permintaan pasar sepeda di Indonesia mencapai 8 juta di tahun 2020. Ini fenomena paling dahsyat di dunia persepedaan dalam 25 tahun terakhir. Sehingga beberapa pabrik sepeda sudah bereaksi dengan meningkatkan produksi sampai 200% dari kapasitas normal, untuk merespon dahsyatnya permintaan.
Dalam hal yang senada, di tahun 2013, di tengah-tengah booming pasar properti, saya pernah mempelajari pasar properti di Semarang, Jawa Tengah. Waktu itu dalam kapasitas saya sebagai broker saham atau equity sales.
Di tahun itu, pasar properti sedang booming secara masif. Sedang ada sekte properti. Kebetulan ada proyek kondominium yang sedang diluncurkan di Semarang. Saya dekati tenaga penjualnya nya, cowok yang baru lulus kuliah. Nanya-nanya kondisi pasar. Mungkin karena saya terlalu banyak nanya, si tenaga penjual ini mulai kehilangan kesabaran.
Waktu saya tanya berapa harga per meter persegi, dengan kesal ia jawab “tidak ada yang nanya pertanyaan serumit itu, sama sekali tidak penting pertanyaannya, kalau mau beli langsung saja”. Padahal itu pertanyaan mudah.Dan menghitungnya pun mudah. Harga properti dibagi luas apartemen. Tapi itu pun dianggap pertanyaan rumit, di jaman jual properti begitu mudah. Beli properti tanpa perlu tahu harga per meter persegi itu sama dengan beli saham bank tanpa tahu Price to Book-nya. Mungkin mirip-mirip konsep saham bank digital di jaman now.
Pelajaran yang bisa dipetik, join sesuatu setelah menjadi tren besar itu sulit. Karena pesaingnya begitu banyak.
Dalam hal kickboxing, saya harus cari gym baru begitu gym lama mulai banyak peminat.
Dalam hal gowes, saya harus puas dengan pelayanan toko yang tidak optimum, karena ledakan jumlah peminat gowes.
Dalam hal properti, kita harus puas dengan “pelayanan” seadanya di kala sedang ada sekte properti.
Tren tidak selalu menjadi teman kita. Dan oleh karena itu, menjadi tidak tipikal itu sering ada untungnya. Kebetulan saya sempat menulis soal menjadi tidak tipikal ini di blog sebelumnya.
Bicara investasi, istilah the “bubble of everything” yang sedang kita alami saat ini tidak sepenuhnya benar. Sektor properti Indonesia, misalnya, masih cenderung belum banyak bergerak. Menjadi anomali di tengah booming properti di banyak belahan dunia. Juga tambang emas dan perak, masih jauh dari menjadi sekte di kala kebijakan moneter dan fiskal di banyak negara maju begitu agresifnya.
Mungkin saya perlu ingat quote berikut dari The Matrix.
Trinity: Neo, no one has ever done anything like this.
Neo: I know, that’s why it’s going to work.
Lihat Blog Lainnya
Womansipasi
Masih dalam semangat hari Kartini di bulan April, kita memperingati kisah pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemajuan gendernya, R.A. Kartini. Setiap berbicara mengenai hal ini, saya bisa sangat passionate, karena gerakan female empowerment sangat penting untuk memajukan kualitas hidup para perempuan dan pada akhirnya berdampak pada generasi penerus yang dibesarkan oleh perempuan.
Baca SelengkapnyaSoal Menjadi Tidak Tipikal
Di satu sore, saya ngobrol dan saling bertukar pikiran dengan Shifra Lushka, penulis buku best seller BTS, Today We Fight. Shifra adalah seorang penulis milenial yang aktif di bidang sosial. Seorang pengagum George Orwell plus tentunya BTS.
Baca Selengkapnya