Efek Keruntuhan Silicon Valley Bank
Pasar global baru saja dikejutkan dengan berita mengenai kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB), salah satu perbankan yang cukup besar di AS dan telah berusia 40 tahun. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 48 jam, nasabah melakukan penarikan dana besar-besaran yang menyebabkan SVB bangkrut. Para pelaku pasar pun melihat dan membandingkan kebangkrutan SVB dengan Lehman Brothers di tahun 2007–2008, melihat peristiwa tersebut sebagai permulaan dari krisis yang baru.
Sebagai info, SVB didirikan pada tahun 1983 dan berfokus pada pembiayaan perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi. Per akhir tahun lalu, SVB memiliki aset sebesar USD 209 miliar, menjadikannya sebagai salah satu dari jajaran 20 bank terbesar di AS. Banyak perusahaan teknologi yang menabung hasil keuntungannya di SVB ketika adanya kenaikan signifikan dari pemanfaatan teknologi pada permulaan pandemi COVID-19. Namun, dengan kondisi start-up yang mulai lesu sejak pertengahan tahun 2022 akibat kenaikan suku bunga Fed untuk memerangi inflasi, SVB juga merasakan dampaknya,
Para investor/pemodal saat ini cenderung enggan untuk menyuntik dana tambahan ke start-up, sedangkan kondisi perekonomian saat ini sangat menuntut start-up untuk memiliki likuiditas tinggi untuk operasional. Alhasil, start-up pun mulai menarik dananya yang dihimpun di SVB. Sayangnya, SVB–seperti bank lainnya di masa pandemi–menginvestasikan dana miliaran ke obligasi pemerintah AS (Treasury Bonds) ketika suku bunga mendekati nol. Saat ini, suku bunga Fed telah mengalami kenaikan yang signifikan, nilai obligasi pemerintahnya pun mengalami penurunan. Ditambah lagi, kas di tangan SVB sangat sedikit. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dari nasabahnya, SVB pun menjual rugi obligasinya dan berencana untuk menerbitkan saham senilai USD 2,25 miliar. Aksi tersebut menimbulkan kepanikan dan urgensi bagi nasabah untuk menarik uang dari SVB secepat mungkin, saham SVB pun mengalami penurunan signifikan. Runtuhnya SVB juga mendorong penutupan dari Signature Bank.
Menanggapi serangkaian peristiwa ini, pemerintah AS mengumumkan untuk menjamin dana yang ditempatkan di bank untuk menjaga kepercayaan nasabah pada perbankan. Departemen Keuangan, Federal Reserve, dan FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) akan mengambil tindakan tegas untuk melindungi perekonomian AS dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.
Lalu, bagaimanakah dampak dari peristiwa ini terhadap pasar global dan Indonesia? Peristiwa SVB ini pastinya dibandingkan dengan keruntuhan Lehman Brothers di tahun 2008. Faktanya, SVB dengan aset USD 209 miliar sebenarnya merupakan bank yang kecil apabila dibandingkan dengan bank raksasa AS, seperti JPMorgan Chase yang asetnya sebear USD 3 triliun. Namun, bank runs bisa terjadi kapan saja ketika adanya kepanikan dari nasabah. Dampak kebangkrutan dari SVB menyebar ke beberapa negara tempat SVB beroperasi, seperti China, Inggris, Denmark, Jerman, India, Israel, dan Swedia. Bahkan Bank of London juga mempertimbangkan untuk menyelamatkan SVB cabang Inggris. CDS (Credit Default Swap) Indonesia sempat mengalami kenaikan ketika SVB jatuh.
Menurut OJK, krisis keuangan yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1998 telah menjadi fondasi bagi pemerintah untuk membentuk tata kelola dan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil. Terlebih lagi, perbankan Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan teknologi start-up dan kripto. Sehingga, kasus SVB ini tidak akan berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia.
Walaupun sentimen negatif ini dirasakan secara global termasuk Indonesia, dampak ke perekonomian Indonesia diproyeksikan kecil dan lebih berdampak ke sentimen/persepsi jangka pendek investor dalam berinvestasi. Asosiasi Modal Ventura untuk Start-up Indonesia memprediksi bahwa peristiwa SVB ini hanya akan memberikan dampak kecil terhadap Indonesia. Hal ini mempertimbangkan minimnya modal ventura Indonesia yang bekerja sama dengan SVB dan modal ventura di Indonesia umumnya mendapatkan pendanaan dari bank lokal yang menjadi usaha induknya. Sedangkan, pendanaan start-up di AS akan semakin sulit.
Uniknya, peristiwa ini menimbulkan potensi Fed yang akan less aggressive dalam menaikkan suku bunga di masa yang akan datang. Sehingga, sentimen jangka pendek masih akan cukup negatif, namun nantinya dapat menjadi katalis positif bagi pasar saham, termasuk pasar saham Indonesia. Arus modal asing kepada pasar obligasi Indonesia juga diproyeksikan meningkat dari ekspektasi tersebut. Fed yang tetap agresif berpotensi untuk menciptakan ketidakstabilan dalam sistem keuangan. Walaupun begitu, belum dapat diketahui apakah runtuhnya SVB ini dapat menjalar dan menimbulkan efek domino ke perekonomian global, seperti krisis di tahun 2007–2008.
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Market Research 13 Maret 2023: New Terminal Rate
IMF untuk sementara menaikkan batas maksimal pendanaan bagi negara anggota yang terlilit utang dan sulit untuk menghimpun penerimaan. Pada pertemuan Menteri Keuangan G20, isu penanganan utang yang menjadi salah satu pokok pembahasan terpinggirkan oleh isu lainnya, yaitu memanasnya hubungan AS-China. Disisi lain, arah perekonomian China menjadi perhatian bagi seluruh negara lainnya. Menurut IMF, pertumbuhan 1 persen poin dari perekonomian China mendorong pertumbuhan 0,3 persen poin di negara lain. Bagi Indonesia sebagai mitra dagang China, ekspor Indonesia dapat mengalami kenaikan. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Baca SelengkapnyaPotensi Inflasi Lanjutan
Setiap tahunnya, umat muslim diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadan dan setelahnya diikuti dengan merayakan kemenangan di Hari Raya Idul Fitri. Secara historis, momen mendekati libur Idul Fitri akan memengaruhi peningkatan CCI (Customer Confidence Index) karena adanya peningkatkan pengeluaran di masyarakat. Para pelaku bisnis–khususnya yang bergerak di bidang konsumen–akan menyiapkan strategi untuk memanfaatkan momen tersebut, mulai dari persediaan bahan baku hingga penjualan di ritel dan promosi. Terlebih dengan pencabutan status PSBB, masyarakat akan lebih terdorong untuk mengunjungi pusat perbelanjaan dan tempat sejenisnya di momen Ramadan dan Idul Fitri. Mengingat bahwa tahun ini menjadi Ramadan dan Idul Fitri pertama yang tanpa pembatasan sosial, efeknya adalah tingkat okupansi juga cenderung meningkat, perputaran uang pun semakin tinggi, dan pertumbuhan ekonomi semakin terdorong juga karena komposisi PDB Indonesia yang didominasi oleh konsumsi-setoran pajak dalam bentuk PPN berpotensi meningkat. Secara historikal, poros pertumbuhan yang signifikan juga dicatat pada periode Ramadan dan Idul Fitri.
Baca SelengkapnyaMarket Research 6 Maret 2023: Higher for longer
Mayoritas pejabat Fed masih melihat adanya kebutuhan untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 bps, sedangkan pejabat lainnya menginginkan kenaikan sebesar 50 bps. Sementara, beberapa bank sentral lainnya mulai mempertimbangkan untuk menahan laju kenaikan suku bunganya karena tahun sebelumnya telah menaikkan suku bunga secara agresif. Saat ini, negara seperti Finlandia, Swedia, Australia, dan Argentina sedang berupaya untuk menghindari jurang resesi. Hal tersebut disebabkan oleh respons yang cenderung lambat dalam menerapkan langkah preventif melawan inflasi. Oleh karena itu, jalur antara mengendalikan tingkat inflasi dan resesi semakin sempit (muncul potensi stagflasi). Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Baca Selengkapnya