Is Cash the King… or is it?
Sepanjang tahun 2022, porsi kas dalam portofolio yang dikelola oleh manajer investasi mencapai 14% dari total nilai aktiva bersih (NAB), lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar sebesar 9%. Secara sekilas, terdapat sekitar 5% tambahan dari total dana industri di reksa dana yang belum ‘dibelanjakan’ oleh manajer investasi. Terus, kenapa kas ini tiba-tiba membludak?
Tingginya porsi kas ini disebabkan oleh pandangan para manajer investasi mengenai kondisi makroekonomi secara domestik dan global yang dapat mempengaruhi performa dari instrumen investasi. Terlebih lagi, manajer investasi juga perlu berjaga-jaga untuk memenuhi kebutuhan investor dalam melakukan pencairan dana / redemption mengingat kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Porsi kas yang ‘tidak dibelanjakan’ untuk aset ini juga dapat dilihat sebagai pendekatan manajer investasi untuk wait and see agar NAB tidak mengalami penurunan dan merugikan bagi seluruh investor. Apabila kondisi ekonomi telah dipandang cukup baik untuk berinvestasi reksa dana, maka dana ekstra 5% tersebut dapat menjadi pendorong bagi IHSG apabila diinvestasikan ke saham, dan diversifikasi risiko tambahan apabila diinvestasikan ke instrumen pendapatan tetap dan pasar uang. Risk management ini pastinya juga telah dipertimbangkan oleh manajer investasi agar investor reksa dana tidak kehilangan uangnya.
Di Inggris, manajer investasi lebih memilih untuk selling the dip dibandingkan buying the dip, alias menjual saham yang sedang menurun dibandingkan menambah muatannya. Sehingga, tren yang serupa juga diterapkan di manajer investasi negara lain.
Walaupun penimbunan kas menjadi antisipasi di tengah ketidakpastian ini, sebenarnya kas yang ‘terlalu besar’ juga bisa merugikan lho. Misal, bagi pada trader atau spekulan di pasar saham pastinya ingin menyimpan hasil trading-nya dalam bentuk kas sebagai cadangan modal. Sayangnya, inflasi seperti sekarang ini membuat nilai uang semakin kecil, sehingga merugikan karena daya belinya menurun. Serupa namun tidak sama, investor yang jangka waktu investasinya cenderung panjang yang menimbun kas tidak memaksimalkan return yang dapat diperoleh. Sebagai contoh, IHSG yang mengalami penurunan hingga 33% pada permulaan pandemi, tanpa kita sadari membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk rebound ke level yang lebih tinggi bahkan diatas level sebelum pandemi. Tentu saja, pastinya sulit dan membutuhkan manajemen risiko dalam menentukan market timing dan jumlah dana yang ingin diinvestasikan pada saat itu.
Tingginya kas sebenarnya bisa menjadi ‘amunisi’ untuk menambah jumlah investasi dan memperkuat diversifikasi portofolio, apalagi inflasi seperti sekarang ini membuat nilai uang semakin menurun, sehingga kas yang diinvestasikan dapat menjadi lindung nilai juga untuk melawan inflasi, terutama ketika indikator ekonomi nasional dan global telah membaik yang mendorong pertumbuhan nilai aset. Namun, sebagai investor yang cerdas, kita juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti kebutuhan dana darurat dan manajemen risiko juga, yang berarti bahwa tidak seluruh cash on hand investor harus ‘dibelanjakan’ langsung. Berhati-hatilah dalam menangkap pisau jatuh, dan jangan masuk ke kolam yang kita tidak tahu kedalamannya.
Know what you own, and know why you own it — Peter Lynch
Lihat Blog Lainnya
Market Research 9 Desember 2022: Global Challenge
Menjelang tahun politik, Presiden Jokowi menggencarkan investasi PMDN untuk meningkatkan kolaborasi antara investor besar dengan UMKM karena PMN diproyeksikan terhambat. Beberapa negara bagian juga telah menunjukkan ‘berita bagus’. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global.
Baca Selengkapnya2022 Wrapped: What to expect in 2023?
Tidak terasa tahun 2022 akan segera berakhir dan tahun 2023 akan menjadi lembaran baru. Tanpa disadari, kita telah melewati berbagai peristiwa global, mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, kenaikan suku bunga Fed yang tertinggi selama 2 dekade terakhir pada bulan Mei, hingga Eropa yang membutuhkan alternatif sumber energi.
Baca SelengkapnyaMixed Global PMI: Lead Time or Down Time?
Selama pandemi COVID-19, kebijakan fiskal dan moneter menjadi sumber daya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Contohnya saja di Indonesia, purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia berekspansi selama 14 bulan. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani membawa kabar kurang baik, yaitu terjadinya kontraksi pada PMI manufaktur Indonesia selama 2 bulan terakhir menjadi 51,8. Padahal, kapasitas produksi di sektor manufaktur telah melebihi level sebelum pandemi. Sukses mencatat pertumbuhan selama 14 kali secara bulanan, mengapa PMI manufaktur Indonesia tiba-tiba gagal dalam mencetak rekor tambahan?
Baca Selengkapnya