2022 Wrapped: What to expect in 2023?
Tidak terasa tahun 2022 akan segera berakhir dan tahun 2023 akan menjadi lembaran baru. Tanpa disadari, kita telah melewati berbagai peristiwa global, mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, kenaikan suku bunga Fed yang tertinggi selama 2 dekade terakhir pada bulan Mei, hingga Eropa yang membutuhkan alternatif sumber energi.
Ketidakpastian dari berbagai aspek domestik dan global juga memengaruhi iklim dan pergerakan dari aset yang kita investasikan. Manajer investasi ternama di berbagai negara seperti Blackrock, Credit Suisse, Morgan Stanley, dan J.P. Morgan Asset Management di berbagai negara telah melakukan proyeksi dan menyampaikan strategi investasi yang sesuai dengan kondisi saat ini dan masa yang akan datang. Lalu, bagaimanakah pandangan mereka sebagai profesional menilai kondisi ke depan?
Secara umum, tren yang dapat memengaruhi kondisi perekonomian mendatang terdiri dari kondisi geopolitik akibat perang RUS-UKR, penghentian zero-covid policy di China, dan Fed memperlambat kenaikan suku bunga. Berbagai bank sentral sedang menekan permintaan secara drastis melalui kenaikan suku bunga agar mencapai target inflasi yang sesuai. Ada kemungkinan juga penghentian kenaikan atau bahkan penurunan suku bunga mulai dilakukan walaupun inflasi belum menurun ke level yang ditargetkan.
Inflasi diperkirakan mulai mereda pada tahun 2023 karena China akan mulai membuka perekonomiannya kembali setelah lockdown, sehingga terdapat pent-up demand dan meredanya disrupsi pada supply chain. Eropa juga dapat mengatasi krisis energi karena telah menyimpan gas selama musim panas untuk digunakan pada musim dingin dan bergantung pada LNG dari AS, sehingga tidak lagi bergantung pada Rusia. Dari sisi KPR, sekitar 5% dari KPR AS menerapkan skema adjustable rates, lebih rendah dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 20%. Inggris lebih sensitif karena sekitar 14% dari KPR-nya adalah variabel rates dan 25% KPR adalah fixed rate selama 2 tahun, tentunya jauh lebih rendah dibandingkan sebelum Global Financial Crisis dengan komposisi sekitar 70%. Berbeda dengan keduanya, negara-negara utama di Eropa memiliki housing debt yang kecil, sehingga tidak terlalu rentan terhadap suku bunga. Jika inflasi mulai mereda, besar kemungkinan Fed (AS) dan Eropa akan menghentikan kenaikan suku bunga setelah kuartal pertama tahun 2023, sedangkan Bank of England (BoE) pada kuartal kedua. Walaupun terdapat potensi resesi pada negara maju, derajat resesi tersebut masih terkategorikan moderat (mild degree).
Untuk strategi investasi, fixed income akan menjadi aset yang menarik, terutama obligasi pemerintah berjangka panjang (AS), emerging market hard currency debt, investment grade credit dan crossovers (obligasi yang sangat spekulatif namun cukup serupa dengan investment grade). Pada saham, kita dapat mengkaji perusahaan dengan pendapatan yang stabil, tingkat utang yang rendah, dan memiliki pricing power serta membayar dividen yang rutin (income investing) sebagai penyangga volatilitas harga saham. Secara tidak langsung hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan investasi yang sesuai adalah value investing dibandingkan growth investing apabila mencari keuntungan berdasarkan perubahan harga aset (capital gain). Seandainya bank sentral mulai memperlambat kebijakan kontraktifnya (pivoting away), investor dapat melirik saham yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi dan lebih sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Tentunya, growth stocks dapat menawarkan imbal hasil yang lebih besar beserta dengan risikonya.
Dari sisi manajemen risiko, saat ini obligasi dapat berperan sebagai aset diversifikasi portofolio yang baik, mengingat yield saat ini lebih tinggi relatif terhadap historikal. Sebelumnya, tingkat yield yang lebih rendah hanya memberikan efek diversifikasi yang sangat kecil, sehingga proteksi terhadap pertumbuhan imbal hasil juga kecil. Selain terdiversifikasi, pendekatan investasi dengan thematic investing juga dapat memberikan imbal hasil yang baik dalam jangka waktu yang panjang bahkan mengalahkan performa dari global equities.
Telah menjadi tren dan perbincangan pada dunia pasar modal domestik dan global, pendekatan socially responsible investing (SRI), ESG investing, atau impact investing tidak lagi menjadi ranah investasi pada kelas aset saham, namun investasi keberlanjutan ini juga akan ada di pasar obligasi. Mengingat tahun 2022 pendekatan ini cukup sulit berkembang, tren ESG pada tahun 2023 akan semakin marak dengan investor yang cenderung memilih perusahaan yang ‘improving’ dibandingkan ‘best-in-class’ dari sisi ESG rating-nya. Nantinya, perusahaan akan cenderung berinvestasi pada aset yang mempelopori otomatisasi dan menghasilkan produktivitas dengan menghemat biaya dan bisa menghasilkan rating ESG yang baik, seperti CCUS, pembangkit listrik solar, pembangkit listrik angin, clean hydrogen, dan yang lainnya. Investment thesis juga akan cenderung melibatkan topik ESG, sehingga faktor keberlanjutan akan semakin umum dalam praktik investasi.
Nah, itulah insight dari para profesional. Secara realistis, kita belum tahu secara pasti apakah Fed akan menghentikan kenaikan tingkat suku bunga dalam jangka waktu dekat, apakah China akan lebih terbuka lagi dan memodifikasi kebijakan zero-covid, dan apakah ketegangan RUS-UKR dapat mereda dalam jangka waktu yang dekat ini. Jadi, kita tetap perlu aware terhadap kondisi atau situasi serta mempertimbangkan risiko untuk berinvestasi di tahun baru nanti.
Keep updated and happy investing!
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Mixed Global PMI: Lead Time or Down Time?
Selama pandemi COVID-19, kebijakan fiskal dan moneter menjadi sumber daya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Contohnya saja di Indonesia, purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia berekspansi selama 14 bulan. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani membawa kabar kurang baik, yaitu terjadinya kontraksi pada PMI manufaktur Indonesia selama 2 bulan terakhir menjadi 51,8. Padahal, kapasitas produksi di sektor manufaktur telah melebihi level sebelum pandemi. Sukses mencatat pertumbuhan selama 14 kali secara bulanan, mengapa PMI manufaktur Indonesia tiba-tiba gagal dalam mencetak rekor tambahan?
Baca SelengkapnyaMarket Research 02 Desember 2022: Global Uncertainty
Ketidakpastian kondisi global masih menjadi isu panas pada saat ini, dengan berbagai faktor yang dapat berkontribusi dalam mendorong atau menghambat probabilitas resesi terjadi baik di Indonesia, negara berkembang, maupun negara maju. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global.
Baca Selengkapnya