Mixed Global PMI: Lead Time or Down Time?
Selama pandemi COVID-19, kebijakan fiskal dan moneter menjadi sumber daya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Contohnya saja di Indonesia, purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia berekspansi selama 14 bulan. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani membawa kabar kurang baik, yaitu terjadinya kontraksi pada PMI manufaktur Indonesia selama 2 bulan terakhir menjadi 51,8. Padahal, kapasitas produksi di sektor manufaktur telah melebihi level sebelum pandemi. Sukses mencatat pertumbuhan selama 14 kali secara bulanan, mengapa PMI manufaktur Indonesia tiba-tiba gagal dalam mencetak rekor tambahan?
Fakta di lapangan, kebijakan ekspansif untuk mendorong permintaan dilengkapi dengan gejolak geopolitik RUS-UKR menyebabkan tingginya inflasi telah mendorong seluruh policy makers untuk mengambil defensive approach dalam melawan ketidakpastian ekonomi global. Kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi nyatanya bertujuan untuk menghambat tingkat permintaan untuk menstabilkan ekonomi. Tak hanya Indonesia, AS juga mengalami kondisi yang serupa dengan terkontraksinya aktivitas bisnis selama 5 bulan berturut-turut. Namun, India berhasil mencatatkan pertumbuhan pada PMI manufakturnya dan beroptimis dalam mengalami kenaikan volume produksi. Mengikuti jejak India, Jerman sebagai negara dengan aktivitas manufaktur terbesar di Eropa mencatatkan kinerja positif sejak meletusnya perang RUS-UKR. Kawasan Eropa juga berhasil mencatat prestasi yang serupa. Dengan adanya rising star dan fading star, apa yang menjadi insight dari fakta yang diverse ini?
PMI menjadi salah satu coincident indicator dalam menilai prospek perekonomian dan kondisi negara, dimana dengan nilai indeks diatas 50 menandakan ekspansi manufaktur, sedangkan dibawah 50 menandakan kontraksi manufaktur. Sehingga, Indonesia ‘dapat dikatakan’ mengalami slowdown yang kecil, mengingat kondisi ekonomi global saat ini masih penuh dengan ketidakpastian. Disisi lain, kita juga perlu mempertimbangkan indikator dan kondisi ekonomi lainnya dalam berinvestasi. Mengingat bahwa saat ini suku bunga masih akan cenderung meningkat, maka fixed income dan money market cenderung lebih baik dibandingkan instrumen saham.
Disclaimer: Analisis yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Market Research 02 Desember 2022: Global Uncertainty
Ketidakpastian kondisi global masih menjadi isu panas pada saat ini, dengan berbagai faktor yang dapat berkontribusi dalam mendorong atau menghambat probabilitas resesi terjadi baik di Indonesia, negara berkembang, maupun negara maju. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global.
Baca SelengkapnyaMarket Research 26 November 2022: Akan Ada Apa di Ekonomi 2023?
Pada saat ini, terdapat kemungkinan terjadinya resesi di berbagai negara dengan tingginya tingkat inflasi, dan BI masih pada posisi untuk cenderung menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah:
Baca Selengkapnya