Males Sih Lo!
Belakangan lagi heboh banget soal financial influencer mengomentari suatu tweet dari Dea Anugrah, jurnalis yang saya sangat hormati karyanya.
Tweet Dea sempat menuliskan tentang kesenjangan antara orang yang digaji 800 ribu setelah kerja siang-malam sebulan penuh dengan orang yang dibayar 80 juta untuk pekerjaan membuat IG post dalam satu-dua jam.
Para influencer ini, mungkin juga tersentil sedikit dengan tweet Dea. Komentarnya beragam. Mulai dari fakta bahwa mereka juga kerja keras (“Yang penting put effort!”), sampai ke penjelasan pertimbangan bahwa post-post mereka itu adalah billboard alias sarana iklan bagi para pembayar. Ya, memang benar juga.
Sebagai manusia, saya setuju dengan tweet Dea. In what world, dunia ini adil? Dunianya emang rusak. We need to do better.
Saya pribadi sering komplain ke suami saya, kenapa sepertinya pekerjaan yang kita lakukan itu terlihat dangkal? Kenapa kok orang-orang di industri finansial pekerjaannya sepertinya biasa saja dan dikompensasi selangit? Sedangkan guru-guru honorer di luar sana, mereka kerja keras mendidik generasi selanjutnya bangsa ini namun pekerjaannya tidak dikompensasi dengan baik.
Tentu saja ini masalahnya tidak bisa selesai dengan sepatah dua patah kalimat. Ini masalah struktural yang sudah menggerogoti kesejahteraan generasi demi generasi.
Namun yang paling menggelitik saya adalah ketika financial influencers ini menuduh orang-orang yang tidak seberuntung mereka sebagai orang yang “tidak bekerja keras” atau “kurang inovasi”.
Oh, boy.
Ada banyak banget faktor sebenarnya yang membuat orang nggak bisa keluar dari lingkungan kemiskinan.
Nggak bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan, lalu membuahkan generational poverty untuk generasi selanjutnya. Semakin sulit keluar dari jebakan tersebut.
Apakah pantas kita berkomentar: “Kurang kerja keras sih lo!”, saya yakin tidak.
Kalo kita baca blog Scott Barry Kaufman di Scientific American, dia mengatribusikan beberapa faktor kepada suatu “kesuksesan”. Namun beberapa diantaranya adalah: luck, privilege, kerja keras, dan strategi.
Mustahil untuk bisa mengetahui secara tepat berapa banyak kontribusi masing-masing faktor dalam hidup kita. Yang bisa kita lakukan adalah menyadari bahwa keempat faktor ini memiliki kontribusi dalam sikon hidup kita, dan sadar juga bahwa keempat faktor ini mungkin peranannya berbeda dalam hidup orang lain.
Nggak semua yang gajinya kecil itu karena nggak kerja keras, dan nggak semua orang sukses itu murni karena kerja keras semata. The world is not that black and white.
Kita perlu do better sebagai influencer, kalau kita (somehow) dipercaya oleh masyarakat untuk memiliki kekuatan “mempengaruhi” orang. Kita perlu sadar bahwa banyak hal dari hidup kita bisa saja diatribusikan karena keberuntungan/luck dan privilege, dan kita gunakan kedua advantages tersebut untuk membantu orang.
Bukannya malah mempermalukan orang lain karena mereka “tidak kerja keras”.
Contoh: “Hah, privilege? Ya kali! Gue tuh belajar keras banget di sekolah! Lulus ranking top, masuk universitas ternama karena gue belajar keras dan dapet kerjaan di pasar modal!”
Coba kita pikir-pikir lagi. Mungkin nggak, kita bisa masuk sekolah favorit, itu karena dapat dukungan dari orang tua kita. Lalu di sekolah, kita berteman dalam lingkungan yang baik, sekolah di tempat yang encourage learning, dan punya uang untuk beli buku dan makanan bergizi. Jadi kita punya privilege yang jutaan anak Indonesia lainnya tidak miliki?
Bukannya malah mempermalukan orang lain karena mereka tidak kerja keras.
Mari coba dipikir lagi, seseorang dengan gaji 800 ribu saja mungkin untuk makan sudah susah, apalagi dicucuk untuk disuruh investasi? Lantas kalau pasar modal kondisinya lagi gak baik, bagaimana? “Oh iya, itu kan blue chip, tenang aja investasi jangka panjang kok!”
Lha, untuk makan besok aja susah, masa lantas disuruh average down. Menyisihkan uang kontrakan saja sulit.
A lot of people dismiss luck and privilege, terutama setelah mereka sukses. Kenapa? Karena kita takut untuk mengakui bahwa di luar sana mungkin banyak orang yang lebih pantas mendapatkan “kesuksesan kita”.
Yuk, daripada mempermalukan kondisi orang lain, kita dukung mereka. Kita berikan akses dan dukungan untuk bisa keluar perlahan-lahan dari lingkaran setan ini, ketimbang bilang mereka kurang kerja keras dan kurang berinovasi.
Salam OKB!
Lihat Blog Lainnya
To The Moon?
Janji “to the moon” ini manis sekali. Siapa sih yang tidak mau ke bulan?
Baca SelengkapnyaTelur-Telur yang Pecah Di Dalam Satu Keranjang
“Portofolio gue cuan 200% dalam 3 bulan!”
Baca SelengkapnyaSekte Gowes
Akhirnya saya bergabung ke sekte yang lagi kekinian banget, sekte gowes.
Baca Selengkapnya