Mengenal Iklim Investasi Hijau
“Who Cares Wins” adalah konferensi yang diadakan pada tahun 2005 yang mempertemukan manajer investasi, analis buy side dan sell side, serta praktisi dan konsultan keuangan lainnya untuk membahas peran dari ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam keuangan dan investasi. Pada konferensi tersebut, para partisipan menyetujui besarnya peran positif ESG dalam investasi jangka panjang. 17 tahun telah berlalu sejak konferensi yang menggunakan istilah ‘ESG’ pertama kalinya, ESG dan tren kehijauan pada dunia keuangan semakin marak dan investor global saat ini semakin memperhatikan aspek sustainability dan ESG dalam berinvestasi. Sehingga, kegiatan operasional yang etis dan kontribusi positif terhadap keberlanjutan menjadi faktor yang perlu diperhatikan juga. Dari sisi emiten, perusahaan yang tidak mengupayakan ESG cenderung memiliki cost of capital dan volatilitas yang lebih tinggi.
Menurut Bloomberg Intelligence, diproyeksikan hingga ⅓ dari total AUM secara global di tahun 2025 merupakan AUM untuk ESG, setara dengan USD 50 triliun. Secara domestik, Kementerian Investasi/BKPM pun telah mendorong keterlibatan ESG dalam investasi, menyebutkan bahwa investasi yang tidak memperhatikan dampak lingkungan akan ditinggalkan. Net zero emission yang ditargetkan pada tahun 2060 juga semakin digencarkan dengan skema perdagangan karbon yang baru saja resmi diluncurkan untuk mempertemukan permintaan dan penawaran dari kapasitas emisi. Hutan tropis Indonesia seluas 125 juta hektare dan merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia mencerminkan potensi Indonesia dalam memimpin pasar karbon di dunia, diproyeksikan mampu menyerap 25 miliar ton karbon dan menghasilkan hingga USD 565 miliar. Tentunya, potensi ini juga dapat diraup oleh beberapa emiten yang perlu memperdagangkan kebutuhan karbonnya, sehingga menciptakan produk dan potensi bisnis baru sekaligus menekan emisi.
Perdagangan karbon hanya merupakan salah satu di antara produk keuangan/investasi yang berlandaskan kehijauan dan keberlanjutan (ESG). 4 bank besar di Indonesia, yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sedang berlomba-lomba untuk menyalurkan kredit hijau. Tak hanya produk kredit, perbankan mulai menghadirkan produk simpanan berbasis keberlanjutan (green deposits/savings). Masih cukup banyak ruang untuk mengembangkan iklim keuangan dan investasi hijau karena Indonesia masih ada ketergantungan tinggi terhadap batu bara, kenaikan suhu yang cukup tinggi, dan penyalahgunaan lahan.
Mengkaji dari upaya pemerintah, perusahaan, dan tren yang sedang berlangsung saat ini mengenai keberlanjutan dan ESG, apakah investor juga perlu memperhatikan hal yang serupa untuk berinvestasi? Secara langsung, dengan berinvestasi pada perusahaan yang memiliki prioritas ESG, investor juga mendukung dan berkontribusi terhadap eksternalitas positif yang dihasilkan oleh perusahaan. Secara tidak langsung, ESG bisa menjadi salah satu mitigasi risiko investasi, khususnya bagi value investor. Mengapa? Perusahaan mementingkan kelangsungan, kelingkungan, dan turut mengikuti peraturan yang berlaku serta memperhatikan benefit yang diterima oleh pemegang saham. Sehingga, risiko yang diemban oleh pemegang saham pun semakin kecil. Dari segi investasi pada aset saham, ESG dan non-ESG juga tetap terdampak sentimen negatif seperti sekarang ini, namun perusahaan dengan kualitas ESG yang baik umumnya memiliki fundamental yang lebih kuat, sehingga tahan terhadap sentimen negatif jangka pendek-menengah dan berpotensi memberikan imbal hasil yang lebih tinggi di jangka panjangnya. Tidak hanya saham, terdapat juga produk investasi obligasi yang berbasis ESG. Obligasi ESG memiliki karakteristik yang serupa dengan obligasi pada umumnya, namun obligasi ESG diterbitkan untuk proyek/perusahaan yang menunjukkan prioritas utama terhadap ESG. Obligasi ESG sangat menarik bagi investor yang ingin memberikan kontribusi terhadap proyek kehijauan. Proyeksinya, ESG akan menjadi salah satu aspek yang diperhatikan juga oleh perusahaan dan akan diinkorporasi dalam operasional bisnisnya, sehingga praktik serupa dan upaya untuk mewujudkan net zero emission dan praktik keberlanjutan lainnyapun akan semakin lumrah.
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Market Research 27 Februari 2023: Indonesia Economic Projections
Walaupun BI mempertahankan tingkat suku bunga, masih terdapat risiko inflasi dari luar negeri, yakni AS dan Eropa. Melalui penahanan DHE, Indonesia dapat meminimalisir dampak dari imported inflation.Implementasi TDV (term deposit valas) mulai dijalankan per 1 Maret 2023 dengan tenor 1, 3, dan 6 bulan. Suku bunga yang ditawarkan kompetitif dengan suku bunga counterparty BI di luar negeri. Pemerintah juga telah memberikan insentif berupa potongan PPh final atas bunga deposito DHE bergantung pada denominasi mata uang dan holding period. Berikut merupakan market updates dari domestik dan global:
Baca SelengkapnyaKrisis Utang AS
Berita bagus cenderung menjadi sesuatu yang langka dan yang sangat ditunggu-tunggu di tengah ketidakpastian perekonomian pada tahun 2023, peristiwa yang telah diramal sejak pertengahan tahun 2022. Dengan inflasi yang mulai menurun di berbagai negara, bahkan Bank Indonesia yang mulai menahan kenaikan suku bunganya, mungkin perekonomian di tahun 2023 tidak seseram yang diramal, dapat dikatakan pembukaan kembali perekonomian China menjadi kontributor terbesar. Akan tetapi muncul berita mengenai tingginya tingkat utang AS yang telah menyentuh plafonnya, yang dapat memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian di seluruh dunia.
Baca SelengkapnyaMarket Research 20 Februari 2023: Holding Central Bank Rate
BI mencatat tingkat utang luar negeri Indonesia per tahun 2022 adalah sebesar USD 396,84 miliar, telah mengalami penurunan kedua kalinya secara tahunan. Penurunan pada tingkat utang ini disebabkan oleh pendapatan negara yang mengalami kenaikan sebagai imbal hasil dari kenaikan harga komoditas. Utang terhadap PDB negara anggota G7 yang mengalami kenaikan signifikan adalah Jepang, menyentuh rasio 250%. Dibandingkan dengan 6 negara lainnya, kenaikan rasio masih relatif kecil. Berikut merupakan market updates secara domestik maupun global:
Baca Selengkapnya