Krisis Utang AS
Berita bagus cenderung menjadi sesuatu yang langka dan yang sangat ditunggu-tunggu di tengah ketidakpastian perekonomian pada tahun 2023, peristiwa yang telah diramal sejak pertengahan tahun 2022. Dengan inflasi yang mulai menurun di berbagai negara, bahkan Bank Indonesia yang mulai menahan kenaikan suku bunganya, mungkin perekonomian di tahun 2023 tidak seseram yang diramal, dapat dikatakan pembukaan kembali perekonomian China menjadi kontributor terbesar. Akan tetapi muncul berita mengenai tingginya tingkat utang AS yang telah menyentuh plafonnya, yang dapat memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian di seluruh dunia.
Sebagai permulaan, plafon utang atau debt ceiling merupakan batasan legal untuk tingkat utang yang dapat dimanfaatkan/ditanggung oleh pemerintah AS. Plafon ini telah diterapkan sejak tahun 1917 dan terus mengalami kenaikan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kebutuhan pemerintah. Ketika tingkat utang melewati plafonnya, maka pemerintah AS tidak dapat melakukan pinjaman lagi, sehingga pemerintah harus menaikkan plafon utangnya atau mengurangi pengeluarannya agar terhindar dari gagal bayar.
Treasury Department AS melaporkan bahwa tingkat utang AS dari tahun 2013–2022 mengalami kenaikan hingga 86%. Saat ini utang AS adalah sebesar USD 31,4 triliun dengan rasio PDB terhadap utang adalah sebesar 124%. Rasio utang terhadap PDB umum digunakan sebagai ukuran kemampuan negara dalam memenuhi kewajiban utangnya, sehingga AS pada dasarnya membutuhkan tambahan dana untuk memenuhi kekurangan 24% tersebut. Secara nominal, utang AS sangatlah tinggi. Mengutip dari Peter G. Peterson Foundation, apabila utang ini ditanggung secara rata oleh masyarakat AS, maka setiap warga perlu membayar hingga USD 94 ribu, setara dengan IDR 1,4 miliar. Lalu, berbagai pertanyaan pun muncul mengenai langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah AS dalam mengatasi permasalahan ini. Republicans dan Democrats di AS pun memiliki pandangan yang berbeda, yakni antara mengurangi pengeluaran (reduce the spending), atau meningkatkan plafon utang (increase the ceiling) dalam menghadapi kondisi terkini.
Karena tingginya tingkat utang, maka pemerintah AS perlu memilah kembali pengeluaran mana yang penting dan yang dapat ditunda. Selain itu, tingkat utang yang tinggi juga dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan budget pemerintah. Business confidence dan konsumsi rumah tangga akan terhambat, sehingga aktivitas ekonomi pun akan melambat bersamaan dengan pelemahan pada harga aset tertentu. Apabila AS mengalami gagal bayar, maka peringkat utang AS akan menurun secara signifikan, imbal hasil dari US Treasury Bonds akan mengalami kenaikan, serta mempengaruhi tingkat suku bunga AS dan negara lainnya. Menurut Janet Yellen sebagai Menteri Keuangan yang mendampingi pemerintahan Joe Biden, gagal bayar AS dapat menimbulkan resesi di perekonomian AS dan krisis finansial secara global. Para analis memproyeksi gagal bayar dapat terjadi di bulan Juni apabila plafon utang tidak dinaikkan.
Secara historis, plafon utang AS telah dinaikkan sebanyak 45 kali selama 40 tahun terakhir, dan efek negatif yang dirasakan oleh pasar modal (seperti saham) juga tidak berlangsung lama. Apabila AS mengalami gagal bayar, maka lebih besar dampak yang dirasakan dari aspek politik serta peringkat utangnya. Pada tahun 2011, setelah Kongres AS menaikkan plafon utang, Standard & Poor’s menurunkan peringkat kredit AS dari AAA menjadi AA+. Pada saat itu juga, aset berisiko seperti saham mengalami penurunan yang signifikan. Dari sudut pandang investor AS, pakar investasi beropini bahwa diversifikasi menjadi salah satu langkah yang menarik untuk dilakukan. Diversifikasi yang dimaksud bukan diversifikasi berdasarkan sektor, melainkan diversifikasi ke aset berisiko di luar negara AS, salah satunya adalah emerging markets.
Apabila Kongres menyetujui kenaikan plafon seperti kondisi beberapa tahun yang lalu, maka aset berisiko berdenominasi USD di Amerika akan mengalami penurunan. Sedangkan aset berisiko dengan mata uang asing (dari perspektif AS), akan menarik bagi investor. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, ada potensi terjadinya inflow pada pasar saham dan obligasi di emerging markets (termasuk Indonesia) karena lebih menarik dibandingkan developed markets. Perlu digaris bawahi bahwa skenario tersebut hanyalah kemungkinan yang dapat terjadi. Karena kondisi debt ceiling ini bukan yang pertama kalinya (dan besar kemungkinannya untuk bukan menjadi yang terakhir kalinya), investor sangat didorong untuk berinvestasi dengan time horizon (jangka waktu) investasi yang panjang agar meminimalisir sentimen jangka pendek.
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Market Research 20 Februari 2023: Holding Central Bank Rate
BI mencatat tingkat utang luar negeri Indonesia per tahun 2022 adalah sebesar USD 396,84 miliar, telah mengalami penurunan kedua kalinya secara tahunan. Penurunan pada tingkat utang ini disebabkan oleh pendapatan negara yang mengalami kenaikan sebagai imbal hasil dari kenaikan harga komoditas. Utang terhadap PDB negara anggota G7 yang mengalami kenaikan signifikan adalah Jepang, menyentuh rasio 250%. Dibandingkan dengan 6 negara lainnya, kenaikan rasio masih relatif kecil. Berikut merupakan market updates secara domestik maupun global:
Baca SelengkapnyaKala Pasar Modal Menggoda
Perusahaan secara kesehariannya membutuhkan modal kerja untuk beroperasi, dan terkadang melakukan kegiatan ekspansi. Namun, aktivitas tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan terkadang kas perusahaan tidak mencukupi karena terdapat kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. Lalu, perusahaan pun mempertimbangkan sumber pendanaan yang sesuai agar kegiatan operasi dan ekspansinya dapat berlangsung dengan lancar sekaligus mempertimbangkan kelangsungan perusahaan di jangka panjangnya.
Baca SelengkapnyaMarket Research 13 Februari 2023: Indonesia Growth
Perekonomian Indonesia tumbuh 5,31% sepanjang tahun 2022. Ekspor mengalami kenaikan sebesar 16,28% yang berkontribusi hingga 25% terhadap PDB, dan konsumsi berkontribusi hingga 52% terhadap PDB. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga belum kembali ke level sebelum pandemi COVID-19 karena angka pengangguran masih belum mengalami perbaikan. Sehingga, konsumsi diproyeksikan meningkat pada libur Lebaran dan persiapan tahun politik. Kontribusi dari sektor manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan sejak tahun 2020 hingga tahun 2022. Deindustrialisasi ini dapat mempengaruhi multiplier effect pada perekonomian. Melalui reorientasi ekspor dan berfokus pada negara nontradisional, perkembangan variasi produk, memberikan insentif bagi industri manufaktur, dan pembatasan impor dapat meningkatkan kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia. Berikut merupakan market insights dari domestik dan global:
Baca Selengkapnya