Mengkaji Krisis Biaya Hidup
Sejak akhir tahun 2019 dan kuartal awal tahun 2020, seluruh dunia secara bersama menghadapi pandemi COVID-19. Wabah tersebut tentunya menjangkit kesehatan dari perekonomian berbagai negara dan menimbulkan krisis berskala global baru sejak periode 2007–2009. Lepas dari pandemi, hantu inflasi mulai menunjukkan wajahnya di pertengahan tahun 2021 sebagai efek dari kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meletusnya perang antara Rusia dengan Ukraina, inflasi pun semakin tinggi dan menjadi permasalahan utama di berbagai negara besar. Walaupun bagi beberapa negara inflasi masih dapat dikendalikan, permasalahan tersebut tetap menjadi prioritas yang perlu ditanggulangi.
Berbicara soal inflasi, berarti harga dari sesuatu yang ingin kita beli lebih mahal, atau nilai uang mengalami penurunan. Sebagai contoh, harga rata-rata dari 1 kg telur ayam ras segar pada tanggal 26 Januari 2023 adalah sebesar Rp29.235. Sementara 5 tahun lalu (2018), harganya sebesar Rp24.381. Berarti harga 1 kg telur ayam ras segar selama 5 tahun telah mengalami kenaikan hingga 20%. Secara tahunan, dapat diukur bahwa harga 1 kg telur ayam ras segar mengalami kenaikan sebesar 3,7%. Ini berarti bahwa masyarakat perlu merogoh kocek lebih dalam untuk membeli 1 kg telur dan tentunya merugikan karena harganya yang semakin mahal.
Ilustrasi di atas membuktikan bahwa telur adalah kebutuhan pokok manusia. Adanya kenaikan harga pada kebutuhan pokok merupakan kondisi yang saat ini sedang menjadi permasalahan yang menjelma. Secara headline berita, ini lebih sering disebut sebagai Krisis Biaya Hidup (Cost of Living Crisis).
Dengan adanya inflasi, akan terjadi krisis biaya hidup di mana daya beli dari pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) dari masyarakat mengalami penurunan nilai. Krisis ini lebih cenderung terlihat dan dirasakan pada masyarakat di kawasan Inggris–sejak mendekati akhir tahun 2021 hingga saat ini–akibat tingginya inflasi yang melebihi kenaikan upah dan kenaikan pada tarif pajak. Secara spesifiknya, disposable income adalah pendapatan yang dimiliki oleh household (rumah tangga konsumen) setelah dipotong oleh pajak, dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Apabila setelah kebutuhan terpenuhi dan terdapat sisa dari pendapatan untuk ditabung, diinvestasikan, ataupun digunakan untuk keinginan (bukan kebutuhan/necessities), disebut sebagai discretionary income. Kondisi yang saat ini dihadapi oleh masyarakat Inggris adalah melemahnya daya beli, sehingga disposable income pada hari ini tidak dapat memenuhi kebutuhannya seperti beberapa tahun lalu. Karena harus berhemat, maka masyarakat Inggris pun mencari cara agar disposable income yang dimiliki dapat memenuhi kebutuhan serta mengurangi keinginan yang tidak penting dan tidak genting. Alhasil, discretionary income juga terdampak untuk melengkapi pasokan disposable income.
Pada krisis biaya hidup ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah (poorer households) lebih terdampak dibandingkan masyarakat dengan penghasilan menengah ke atas (richer households). Berdasarkan studi, masyarakat menengah ke bawah memiliki kebutuhan energi dengan tingkat konsumsi yang cukup besar. Sehingga dengan adanya kenaikan harga energi, akan berdampak lebih signifikan pada alokasi pengeluarannya. Sementara itu, dalam konteks kebutuhan makanan, harga makanan yang cenderung murah–di mana kelompok masyarakat ke bawah cenderung bergantung dengan makanan itu–mengalami kenaikan harga yang signifikan. Bagi masyarakat menengah ke atas, kenaikan harga cenderung dapat dihadapi, namun ini sulit bagi masyarakat menengah ke bawah.
Kondisi ini juga tentunya memengaruhi perilaku masyarakat sebagai konsumen, yakni mereka memilih untuk berbelanja di toko yang menawarkan promosi, membeli substitusi yang lebih murah, bahkan memilih untuk tidak memakan di luar (seperti restoran). Efek dari menabung di masa lalu pun mulai berperan penting di kondisi saat ini sebagai pelengkap disposable income untuk memenuhi kebutuhan pokok. Akibat dari pandemi, para pekerja semakin memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan, serta mengharapkan adanya jam kerja fleksibel. Menghadapi krisis biaya hidup, para pekerja juga terdorong untuk bekerja dengan jam yang lebih lama.
Dari sisi perusahaan, kenaikan inflasi juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Apabila perusahaan memutuskan untuk menaikkan upah para pekerja untuk melawan tingkat inflasi, secara jangka pendek mungkin permasalahan dapat teratasi. Namun, dalam jangka panjang perusahaan akan terbebani, terutama apabila krisis ekonominya lebih berkepanjangan. Terlebih lagi, tidak mungkin juga bagi perusahaan untuk ‘menormalisasi’ (menurunkan) kembali upah ketika inflasinya mengalami penurunan. Ujung dari kondisi ini pun belum terlihat.
Serupa dengan menabung, berinvestasi dapat berperan penting di kondisi seperti saat ini dan mempersiapkan diri di waktu mendatang. Dengan kondisi pasar yang kurang kondusif, pergerakan yang volatil umumnya hanya berjangka pendek. Investor dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk berinvestasi dan mengalahkan inflasi di jangka panjangnya. Walaupun mungkin ada investor yang lebih memilih untuk memegang kas dalam porsi besar, tingkat inflasi telah mengurangi daya beli dari kas tersebut. Tentunya, investor juga perlu menggunakan ‘uang dingin’ untuk berinvestasi, yaitu uang yang tidak digunakan untuk jangka pendek maupun darurat. Di tengah krisis biaya hidup, tidak jarang juga masyarakat menggunakan porsi investasinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Investasi juga tidak harus dilakukan secara langsung dalam nominal yang besar. Investor dapat melakukannya secara reguler untuk memanfaatkan cost-averaging dan mengurangi efek volatilitas. Dengan tingginya inflasi saat ini, diversifikasi bisa menjadi salah satu pilihan hingga perekonomian kembali membaik. Maka, reksa dana bisa menjadi salah satu instrumen investasi pilihan, karena menerapkan diversifikasi pada kelas aset ataupun sektor yang berbeda, dan cocok untuk berinvestasi jangka panjang.
Happy investing!
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Market Research 23 Januari 2023: Gold Shines
World Economic Forum (WEF) menyatakan bahwa risiko global terbesar selama 2 tahun kedepan adalah krisis biaya hidup. Hal ini didorong oleh pelemahan daya beli dari masyarakat yang melanda sejumlah negara, terutama negara yang berpenghasilan menengah dan rendah. Indonesia sendiri, WEF menilai ada 5 risiko yang harus dihadapi: 1) krisis utang; 2) konflik kepentingan; 3) kenaikan inflasi; 4) ketimpangan digital; 5) kontestasi geopolitik. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Baca SelengkapnyaSeni Berinvestasi Secara Kontrarian
Pendekatan dan strategi investasi sangat beragam, ada yang memilih growth investing, ada juga yang memilih value investing. Ada yang secara durasi investasinya lebih memilih berjangka pendek dibandingkan panjang, ada yang lebih ingin berinvestasi secara pasif (passive investing) dibandingkan aktif (active investing). Walaupun begitu, harga dan nilai (price and value) tetap menjadi salah satu aspek yang diperhatikan dalam berinvestasi. Berbicara mengenai harga dan nilai, saya jadi teringat dengan satu teori unik yang saya pelajari di dunia keuangan, yaitu Efficient Market Hypothesis (EMH) atau Teori Pasar Efisien.
Baca SelengkapnyaLetter to Our Investors: Part 1
Selamat tahun baru 2023, Teman Kaya! Semoga tahun ini kita semua diberikan kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan yang melimpah, amin.
Baca Selengkapnya