Letter to Our Investors: Part 1
Selamat tahun baru 2023, Teman Kaya! Semoga tahun ini kita semua diberikan kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan yang melimpah, amin.
Memasuki tahun yang baru, umumnya dipenuhi dengan harapan dan impian. Begitu juga dengan tahun 2023, meskipun tahun ini kita dipenuhi oleh banyak ketidakpastian dan kecemasan, khususnya dari segi makro dan kestabilan ekonomi.
Walaupun dalam masa yang sementara ini kondisi ekonomi mungkin akan mengalami ketidakstabilan, kita bisa tetap berinvestasi pada kelas aset yang bisa mendatangkan return yang baik di masa mendatang.
Untuk melihat harapan yang akan datang di tahun ini, kita perlu meninjau kembali kondisi di tahun sebelumnya. Di tahun 2022, mungkin bukan merupakan tahun yang menyenangkan untuk para investor saham–khususnya mungkin untuk para investor reksa dana saham–karena seringkali investasi kita menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi.
Pada kesempatan ini, izinkan saya juga menjawab berbagai pertanyaan maupun diskursus para teman-teman dan investor mengenai underperformance beberapa reksa dana saham terhadap index.
Pertama-tama, mari kita pelajari performa IHSG, LQ45, dan IDX30 yang merupakan beberapa acuan utama performa dari reksa dana saham.
Sekilas kita bisa melihat deviasi yang cukup tajam antara IHSG, LQ45, dan IDX30. Ini merupakan hal yang wajar karena LQ45 hanya merupakan representasi dari 45 saham di Bursa Efek Indonesia, sedangkan IDX30 merupakan 30 saham pilihan dari LQ45 yang memiliki likuiditas lebih tinggi.
Apakah Penyebab dari Deviasi Performa 3 Index Tersebut?
Emiten yang masuk ke dalam index IDX30 dan LQ45 harus berhasil memenuhi kriteria, beberapa di antara nya yaitu kapitalisasi pasar besar, likuiditas tinggi, dan fundamental baik dengan menitikberatkan pada 2 poin pertama (kapitalisasi dan likuiditas).
Jika melihat beberapa data di atas, dapat diasumsikan bahwa kemungkinan besar kenaikan IHSG yang lebih dari 400% di atas LQ45 dan IDX30, didorong oleh beberapa kenaikan saham yang tidak berada di LQ45 dan IDX30. Kemungkinan besar saham-saham mengalami kenaikan ini akan naik hingga memiliki kapitalisasi pasar yang besar, namun tidak memiliki likuiditas yang cukup tinggi sehingga tidak termasuk dalam index-index tersebut. Mari kita bedah lebih dalam lagi.
Berangkat dari bagan pergerakan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa deviasi performa PIRS, LQ45, dan IDX30 terhadap IHSG mungkin disebabkan oleh kenaikan tajam saham-saham yang tidak berada di LQ45 dan IDX30.
Sekilas dalam ingatan saya, yang akan terlintas salah satunya adalah Bayan Resources. Harga sahamnya mengalami kenaikan sebesar 692% sepanjang tahun 2022. Mari kita bandingkan kapitalisasi saham BYAN terhadap IHSG pada beberapa titik waktu.
Pada awal 2022, persentase kapitalisasi pasar BYAN terhadap IHSG merupakan 1%. Di akhir 2022, kapitalisasi pasar BYAN mencapai 7.3% dari kapitalisasi IHSG. Total kapitalisasi pasar IHSG pada awal 2022 sebesar Rp8,426 triliun, dan pada akhir 2022, total kapitalisasi ini bertumbuh hingga ke Rp9,420 triliun. Kapitalisasi pasar BYAN naik ke 700 triliun dari yang awalnya “hanya” Rp90 triliun. Kita dapat menyimpulkan sebagian besar kenaikan kapitalisasi pasar IHSG didorong oleh BYAN.
Menariknya lagi, dari bagan pertumbuhan kapitalisasi pasar BYAN di bulan Oktober 2022 dan Desember 2022, kita bisa melihat ada pertumbuhan sebesar tiga kali lipat. Namun, kapitalisasi pasar IHSG “hanya” naik sebesar 1.200 triliun, walaupun ada beberapa emiten baru yang turut listing di bursa.
Dari grafik yang sama, kita dapat melihat bahwa persentase kontribusi kapitalisasi pasar total saham-saham di dalam LQ45 dan IDX30 tidak bertumbuh banyak, bahkan dalam kasus IDX30 malah menurun. Artinya, pergerakan komposisi saham di LQ45 dan IDX30 cenderung relatif stagnan (secara keseluruhan).
Kontribusi kapitalisasi pasar dari seluruh emiten LQ45 terhadap keseluruhan IHSG
Kontribusi kapitalisasi pasar dari seluruh emiten IDX30 terhadap keseluruhan IHSG
Tentu saja hal-hal di atas merupakan hanya salah satu faktor dari underperformance reksa dana saham terhadap IHSG. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa reksa dana saham bisa underperform karena mungkin kinerja manajer investasi yang kurang optimal. Namun kita kembali perlu mengingat bahwa tujuan utama manajer investasi adalah untuk mengalahkan benchmark atau tolok ukur yang sudah dipilih dari semula. Untuk kebanyakan reksa dana, acuannya adalah LQ45 dan IDX30, karena faktor uninvestable stocks pada beberapa saham IHSG.
Kontribusi LQ45 dan IDX30 terhadap kapitalisasi pasar IHSG
Apakah ini berarti bahwa berinvestasi di reksa dana saham merupakan pilihan yang salah? Kembali lagi saya mengajak para investor reksa dana untuk memahami kembali fitur utama dari investasi reksa dana saham yang kita perlu ingat.
Yang pertama, adalah likuiditas. Investasi reksa dana merupakan investasi yang fleksibel karena sifat likuiditasnya yang cukup tinggi. Kita dapat membeli dan mencairkan reksa dana kapan saja. Hal ini memang akan memerlukan pengelolaan yang berbeda dibandingkan kita membeli saham langsung sebagai investor ritel. Jika kita merupakan investor ritel, mungkin kita tidak perlu mempertimbangkan average daily trading value atau rata-rata nilai transaksi perdagangan harian daripada suatu saham tertentu sebelum membelinya.
Namun untuk para pengelola investasi reksa dana, hal tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji agar selalu memenuhi kewajiban fleksibilitas reksa dana yakni kemampuannya untuk diperjualbelikan kapan saja. Suatu saham yang memiliki likuiditas yang rendah, mungkin bisa diperdagangkan dengan mudah oleh investor retail yang memiliki dana investasi yang belum terlalu besar.
Namun tanggung jawab utama manajer investasi merupakan tanggung jawab kepada seluruh investornya untuk memenuhi kewajiban likuiditas ini. Apabila suatu reksa dana memiliki investasi berbobot tinggi di suatu saham dengan likuiditas yang rendah, maka manajer investasi mungkin akan tidak bisa memenuhi kewajibannya jika terjadi redemption atau penjualan reksa dana, terlebih jika ternyata nilai transaksi harian emiten tersebut lebih rendah dibandingkan jumlah saham yang ingin dijual.
Dalam hal ini, untuk berinvestasi pada saham-saham dengan likuiditas rendah, investor saham ritel langsung memiliki keuntungan dibandingkan investor reksa dana, dengan trade off jangka waktu investasi harus lebih panjang, dan kemungkinan tidak bisa melikuidasi keseluruhan investasi apabila nilainya lebih besar dibandingkan nilai perdagangan saham tersebut.
Apabila nilainya perdagangan saham harian mencukupi, pun ada risiko tambahan yang mungkin harus dihadapi, yaitu ketersediaan jumlah saham dari setiap harga yang ditawarkan atau ditawar (bid and offer). Apabila jumlah saham pada bid and offer ini cukup sedikit, maka pembeli yang ingin membeli dengan jumlah banyak kemungkinan besar akan terus terpaksa mendorong harga saham ke atas dan sebaliknya, penjual dengan jumlah besar akan terpaksa mendorong harga saham ke bawah. Deviasi harga penjualan dan pembelian yang cukup tinggi ini akan dipertimbangkan pula oleh investor institusi seperti manajer investasi, yang harus tetap mempertimbangkan kewajiban mereka untuk mengelola portofolio investasi secara bijaksana.
Dari bagan diatas, terlihat jelas bahwa BYAN, walaupun memiliki kapitalisasi pasar yang kian tinggi terhadap IHSG, memiliki rata-rata transaksi yang sangat jauh dibawah apabila kita bandingkan terhadap rata-rata perdagangan LQ45 dan IDX30. Hal ini cukup berisiko apabila para fund manager ingin melakukan investasi terhadap saham ini, karena akan berarti bahwa mereka harus menemukan block seller (penjual yang ingin menjual dalam kuantitas besar), dan akan sangat sulit untuk melakukan penjualan langsung di pasar. Pada bulan Desember dimana BYAN merepresentasikan lebih dari 7% kapitalisasi pasar IHSG, rata-rata nilai transaksinya hanya 0.46% dari keseluruhan IHSG.
Terakhir, salah satu kebijakan pengelolaan reksa dana yang cukup juga berguna bagi investor untuk jangka waktu investasi yang lebih panjang adalah diversifikasi, di mana reksa dana saham konvensional hanya diberikan limit sebesar 10% untuk pembelian suatu emiten tertentu.
Untuk investor saham ritel langsung, hal ini bisa dilewati dengan mudah. Namun pada konteks pengelolaan reksa dana, dalam suatu skenario di mana suatu reksa dana memiliki investasi pada suatu emiten dengan bobot 8% dalam suatu reksa dananya, mereka akan harus mengurangi bobot emiten tersebut dan menjualnya apabila harga emiten yang dimaksud naik sehingga memiliki bobot di atas 10% relatif terhadap keseluruhan portofolio reksa dana tersebut.
Apabila harga saham tersebut stagnan sementara harga emiten lain mengalami penurunan, reksa dana pun harus juga menjual saham tersebut, karena komposisi bobot emiten tersebut akan naik juga secara tidak langsung akibat performa dari emiten lain dalam portfolio reksa dana tersebut.
Kemungkinan hal ini akan berdampak lebih negatif dibandingkan suatu portofolio investasi lain yang mungkin bisa menempatkan lebih dari 10%, atau bahkan 80–100% dalam suatu emiten, di mana sang investor memiliki keyakinan atau conviction yang tinggi. Namun, diversifikasi natural dalam investasi ini juga merupakan salah satu prinsip pengelolaan investasi yang bijak, yang memang ditujukan untuk perlindungan investor–khususnya dalam hal bias emosional yang cukup sering juga dimiliki oleh para investor. Penempatan bobot yang berlebih tentu saja juga akan berbalik menjadi berisiko apabila investor membuat kesalahan analisa.
Selain likuiditas, kapitalisasi pasar juga merupakan salah satu pertimbangan inklusi LQ45, IDX30, dan juga salah satu kriteria investasi bagi para manajer investasi. Kapitalisasi pasar yang kecil bisa menjadi berisiko terhadap suatu reksa dana yang memiliki dana kelolaan yang besar untuk menempatkan bobot investasi yang tinggi dalam emiten tersebut. Kesalahan dalam hal ini bisa berubah menjadi kesulitan likuiditas ketika ingin menjual emiten tersebut. Selain itu, penempatan investasi yang kecil pada saham berkapitalisasi pasar yang kecil, bisa berarti tambahan performa yang tidak terlalu signifikan relatif terhadap keseluruhan portfolio apabila emiten tersebut.
Tentu saja pertimbangan-pertimbangan di atas merupakan pertimbangan tambahan bagi manajer investasi untuk menentukan pilihan emiten investasi mereka, dan sangat mungkin bagi suatu emiten memiliki kinerja fundamental yang baik namun terpaksa dikategorisasikan sebagai uninvestable assets karena tidak memenuhi unsur likuiditas atau kapitalisasi pasar.
Tiga hal di atas mungkin akan bisa membantu kita dalam menentukan apakah karakteristik reksa dana saham sebagai pilihan investasi merupakan pilihan yang tepat untuk kita. Perlu diingat bahwa kebanyakan reksa dana saham memiliki benchmark yang relatif (terhadap suatu tolok ukur), dibandingkan absolute return (mematok return di suatu titik tertentu). Sehingga secara periodik, performa negatif pada suatu waktu memang akan mungkin saja terjadi.
Pertanyaannya, apakah kita nyaman dengan potensi volatilitas yang selalu mungkin terjadi pada kelas aset saham, terlebih lagi di pertengahan tahun pertama di 2023 ini yang mungkin tidak menentu? Diluar dari pada volatilitas, selalu ada kemungkinan underperformance juga dari sisi pengelolaan reksa dana saham, terutama jika terkait dengan beberapa hal yang telah kita bahas di atas.
Untuk tahun 2023, jika kita masih belum yakin dengan kemampuan kita menerima volatilitas pergerakan kelas aset saham, adalah hal yang sangat baik untuk kita memarkir dana investasi kita terlebih dahulu di reksa dana obligasi ataupun reksa dana pasar uang. Ketika kita merasa bahwa index berada dalam titik yang cukup nyaman untuk kita mulai “mencicil” investasi kelas aset saham, kita bisa dengan mudah melakukan switching kepada reksa dana kelas aset saham yang kita incar.
Demikian untuk surat kepada investor kami di Sayakaya bagian yang pertama. Selanjutnya, kami akan membahas lebih lanjut mengenai market outlook dari beberapa manajer investasi yang telah bergabung di Sayakaya dan produk-produk baru yang akan segera kami luncurkan.
Selamat berinvestasi!
Lihat Blog Lainnya
Market Research 13 Januari 2023: Incoming Recession
Dari industri reksadana, rata-rata kinerja reksa dana campuran menunjukkan pertumbuhan positif apabila dibandingkan dengan industri, namun imbal hasil tambahan (excess return) tersebut cukup kecil. Obligasi dengan durasi jangka panjang cukup menarik untuk diinvestasikan apabila adanya momentum penurunan suku bunga. Dari sisi global, Bank Dunia menyalurkan bantuan keuangan setara dengan USD 75 miliar sepanjang tahun 2022 kepada negara yang terkena dampak iklim dan perang. Bantuan ini 35% lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai bantuan selama 4 tahun terakhir. Berikut merupakan market updates secara domestik maupun global:
Baca SelengkapnyaEmas Berkilau, Tanda Resesi Sudah Tiba?
Banyak peribahasa atau ungkapan yang melibatkan si emas, baik untuk membandingkan atau memuji, seperti anak emas, kesempatan emas, dan yang lainnya. Sejak zaman dahulu, emas menarik perhatian dari berbagai peradaban. Padahal, peradaban tersebut tidak pernah bertemu dan dibatasi oleh wilayah dan bahasa, namun mereka sepakat bahwa kilaunya emas menarik hati mereka. Karakteristik dari emas juga sangat unik, warnanya tidak ternodai dan teroksidasi, serta dapat dibentuk menjadi berbagai barang unik yang indah. Tak heran apabila emas digunakan sebagai ungkapan untuk mengekspresikan sesuatu yang sangat indah atau spesial. Hingga pada 1500 SM, Mesir mendapatkan keuntungan dari limpahan emas, yang mendorong penggunaan emas sebagai alat tukar internasional. Melewati berbagai periode seperti Great Depression (Depresi Besar) dan Perang Dunia, emas menjadi salah satu alat pembayaran dan komoditas yang penting. Emas juga menjadi ‘moderator ekonomi’ pasca Perang Dunia II, karena berbagai negara sedang berupaya dalam menciptakan stabilitas ditengah inflasi dan tingkat utang yang tinggi.
Baca SelengkapnyaMarket Research 9 Januari 2023: January Effect?
Gagal melanjutkan rekor Desember hijau, IHSG berpotensi menguat pada bulan Januari dengan keberadaan dari January Effect (sejak tahun 2010 hingga tahun 2022, IHSG melemah sebanyak 4 dari 12 bulan Januari). BEI juga akan mengembalikan jam perdagangan dan batas auto reject menjadi peraturan sebelum pandemi. Berarti, ARA dan ARB akan menjadi simetris sebesar 35%. Pengusaha tetap menyiapkan rencana ekspansi dan tetap optimis memasuki tahun politik. Perekonomian Indonesia dapat dikatakan memiliki fundamental yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi diatas 5% pada tahun 2022 dan tingkat inflasi sebesar 5,51% YoY. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Baca Selengkapnya