Seni Berinvestasi Secara Kontrarian
Pendekatan dan strategi investasi sangat beragam, ada yang memilih growth investing, ada juga yang memilih value investing. Ada yang secara durasi investasinya lebih memilih berjangka pendek dibandingkan panjang, ada yang lebih ingin berinvestasi secara pasif (passive investing) dibandingkan aktif (active investing). Walaupun begitu, harga dan nilai (price and value) tetap menjadi salah satu aspek yang diperhatikan dalam berinvestasi. Berbicara mengenai harga dan nilai, saya jadi teringat dengan satu teori unik yang saya pelajari di dunia keuangan, yaitu Efficient Market Hypothesis (EMH) atau Teori Pasar Efisien.
Singkatnya, EMH menjelaskan bahwa harga saham telah merefleksikan seluruh informasi yang beredar, sehingga secara teori tidak mungkin bagi investor untuk mendapatkan excess return (imbal hasil tambahan) atau yang lebih dikenal sebagai Alpha. Hal ini berarti bahwa harga saham sedang berada di nilai fair value (nilai wajar). Oleh karena itu, investasi baik secara fundamental dan teknikal tidak dapat memberikan keuntungan yang lebih besar, dan passive investing adalah pendekatan investasi terbaik. Satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar adalah dengan berinvestasi di aset lainnya dengan risiko yang lebih tinggi.
Teori ini menimbulkan ‘perdebatan’ antara akademis dan investor, terlebih lagi teori-teori di dunia keuangan pada umumnya lebih berfokus dalam menjelaskan cara kerja instrumen keuangan dan tidak ada teori yang sepenuhnya terbukti (no proven laws in finance). Adapun kelemahan yang muncul pada konsep EMH yaitu ketika EMH memang berlaku dan seluruh saham sedang fair value, maka value investing ‘tidak dapat digunakan’ sebagai pendekatan investasi. Sedangkan, beberapa value investor terkemuka dan terkenal–seperti Warren Buffett dan Lo Kheng Hong–berhasil mendapatkan keuntungan yang fantastis sekaligus mengalahkan indeks yang menjadi primadona investasi bagi penganut teori EMH. Tidak hanya value investing, keberadaan growth investing menimbulkan perbedaan ‘sudut pandang’ dalam menilai harga wajar suatu saham. Karena banyaknya perspektif dalam berinvestasi saham, tidak jarang bahwa setiap orang memiliki imbal hasil investasi yang berbeda.
Satu hal yang unik pada value investing adalah, mereka cenderung menerapkan yang disebut sebagai Contrarian Thinking, yang berarti bahwa investor menetapkan sudut pandang yang berbeda (umumnya berlawanan) dengan pasar/konsensus. Bagi value investor, konsep EMH tidak berlaku dan mereka mengidentifikasi saham dengan cara membandingkan harga wajarnya terhadap harga pasar. Sehingga mereka cenderung melakukan pembelian atau hold ketika harga saham sedang menurun, dan melakukan penjualan ketika harga saham sedang naik. Dalam bahasa kerennya, buying when everyone is selling, and selling when everyone is buying. Umumnya, contrarian investor dan value investor mempunyai jangka waktu investasi yang cukup panjang. Saya juga perlu garis bawahi bahwa contrarian investing pada dasarnyatidak sama dengan value investing, namun keduanya dapat dikatakan cukup serupa.
Ungkapan seorang ahli keuangan, ‘efisiensi’ yang dimaksud pada EMH cenderung lebih mengisyaratkan ‘seberapa cepat harga pasar bereaksi pada suatu informasi’, dan tidak mengarah ke arti ‘harga sepenuhnya akurat dalam mencerminkan informasi beredar’. Dengan adanya pengaruh dari behavioral finance, pasar saham pun dapat dikatakan ‘tidak sepenuhnya efisien’, karena faktor subjektif seperti emosi, psikologis, dan bias memengaruhi keputusan investasi. Jika memang pasar saham ‘sangat efisien’, maka harga saham yang sebelumnya mengalami perubahan akan secara otomatis langsung menyesuaikan ke nilai wajarnya dalam waktu yang singkat. Keberadaan inefisiensi pada pasar saham menciptakan ketidaksimetrisan antara nilai pasar dengan nilai wajar dari suatu saham, alias mispricing. Ini menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan investor seperti Warren Buffett dan Lo Kheng Hong. Secara spesifik, mereka membeli saham yang harga pasarnya lebih rendah dibandingkan dengan harga wajarnya (undervalued), namun tidak mengecualikan aspek fundamental saham tersebut.
Tentunya, pendekatan investasi ini juga memiliki risiko, yaitu diperlukannya kesabaran yang cukup tinggi karena jangka waktu untuk melakukan riset dan investasinya cukup panjang, bahkan bisa bertahun-tahun. Ini pun menimbulkan biaya peluang (opportunity cost) atau biaya peluang, karena investor cenderung memfokuskan diri untuk berinvestasi pada saham-saham yang telah dianalisis saja dan tidak terekspos terhadap keuntungan dari kenaikan saham lain. Selain itu, investor juga ditantang untuk berpikir secara independen, yang berarti hasil pemikiran bisa berbeda dibandingkan dengan konsensus, namun masih selaras dengan cara berinvestasi yang baik.
Warren Buffett yang terkenal sebagai value investor membangun kekayaan dan kesuksesannya dalam berinvestasi melalui pendekatan contrarian yaitu dengan mencari peluang di beberapa saham tertentu. Serupa juga, Lo Kheng Hong mengatakan bahwa harta karun terbesar ada di pasar modal, karena di sanalah dia dapat membeli Mercy di harga Avanza (membeli saham perusahaan bagus di harga yang murah). Keduanya menjadi investor yang sukses dengan berpikir secara berlawanan dari pasar, dan memanfaatkan peluang yang muncul dari mispricing dan inefisiensi pasar saham dengan baik. Mengutip ungkapan dari kedua investor yang mencerminkan bagaimana kita dapat memanfaatkan peluang investasi yang baik di pasar saham, yaitu:
Be fearful when others are greedy, and be greedy when others are fearful. — Warren Buffett
Buy at bad times, sell at good times, and you will be rich. — Lo Kheng Hong
Warren Buffett juga mengingatkan bahwa menjadi seorang contrarian bukanlah kunci utama dan menjadi pengikut kerumunan besar (crowd follower) tentunya juga bukan strategi yang baik. Gaya investasi tetap disesuaikan dengan gaya masing-masing investor agar potensi imbal hasil sesuai dengan risiko yang dapat diterima. Terlebih lagi, terlepas dari apakah pasar saham lebih cenderung efisien atau tidak efisien, investor tidak boleh beranggapan bahwa seluruh saham sedang mengalami mispricing agar tidak mengalami kesalahan dalam pemilihan saham. Di sisi lain, investor juga tidak boleh menganggap bahwa seluruh aset telah fairly valued karena salah satu dorongan utama pada pergerakan harga saham adalah behavioral finance. Sehingga, ketika terjadinya mispricing, maka investor perlu cekatan dalam mengkaji kondisi tersebut.
Happy investing!
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Letter to Our Investors: Part 1
Selamat tahun baru 2023, Teman Kaya! Semoga tahun ini kita semua diberikan kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan yang melimpah, amin.
Baca SelengkapnyaMarket Research 13 Januari 2023: Incoming Recession
Dari industri reksadana, rata-rata kinerja reksa dana campuran menunjukkan pertumbuhan positif apabila dibandingkan dengan industri, namun imbal hasil tambahan (excess return) tersebut cukup kecil. Obligasi dengan durasi jangka panjang cukup menarik untuk diinvestasikan apabila adanya momentum penurunan suku bunga. Dari sisi global, Bank Dunia menyalurkan bantuan keuangan setara dengan USD 75 miliar sepanjang tahun 2022 kepada negara yang terkena dampak iklim dan perang. Bantuan ini 35% lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai bantuan selama 4 tahun terakhir. Berikut merupakan market updates secara domestik maupun global:
Baca SelengkapnyaEmas Berkilau, Tanda Resesi Sudah Tiba?
Banyak peribahasa atau ungkapan yang melibatkan si emas, baik untuk membandingkan atau memuji, seperti anak emas, kesempatan emas, dan yang lainnya. Sejak zaman dahulu, emas menarik perhatian dari berbagai peradaban. Padahal, peradaban tersebut tidak pernah bertemu dan dibatasi oleh wilayah dan bahasa, namun mereka sepakat bahwa kilaunya emas menarik hati mereka. Karakteristik dari emas juga sangat unik, warnanya tidak ternodai dan teroksidasi, serta dapat dibentuk menjadi berbagai barang unik yang indah. Tak heran apabila emas digunakan sebagai ungkapan untuk mengekspresikan sesuatu yang sangat indah atau spesial. Hingga pada 1500 SM, Mesir mendapatkan keuntungan dari limpahan emas, yang mendorong penggunaan emas sebagai alat tukar internasional. Melewati berbagai periode seperti Great Depression (Depresi Besar) dan Perang Dunia, emas menjadi salah satu alat pembayaran dan komoditas yang penting. Emas juga menjadi ‘moderator ekonomi’ pasca Perang Dunia II, karena berbagai negara sedang berupaya dalam menciptakan stabilitas ditengah inflasi dan tingkat utang yang tinggi.
Baca Selengkapnya