Market Research 13 Januari 2023: Incoming Recession
Dari industri reksadana, rata-rata kinerja reksa dana campuran menunjukkan pertumbuhan positif apabila dibandingkan dengan industri, namun imbal hasil tambahan (excess return) tersebut cukup kecil. Obligasi dengan durasi jangka panjang cukup menarik untuk diinvestasikan apabila adanya momentum penurunan suku bunga. Dari sisi global, Bank Dunia menyalurkan bantuan keuangan setara dengan USD 75 miliar sepanjang tahun 2022 kepada negara yang terkena dampak iklim dan perang. Bantuan ini 35% lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai bantuan selama 4 tahun terakhir. Berikut merupakan market updates secara domestik maupun global:
Tingkat inflasi Indonesia di tahun 2023 diproyeksi akan melebihi target BI akibat tingginya inflasi secara global yang mempengaruhi negara-negara lainnya. APBN dan APBD akan dimanfaatkan sebagai shock absorber.
Diversifikasi pasar ekspor penting bagi Indonesia di tahun ini, mempertimbangkan potensi penurunan harga komoditas yang dapat membebani penerimaan negara. Presiden Jokowi juga ingin mendorong hilirisasi dan manufakturisasi.
Sejalan dengan proyeksi bahwa kecilnya defisit APBN pada tahun 2022 tidak terulang lagi di tahun 2023, penerimaan pajak dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang cukup tinggi di tahun 2022 juga diproyeksikan tertekan pada tahun ini. Sehingga, setoran dividen BUMN ke pemerintah diharapkan lebih tinggi pada tahun ini, mengingat bahwa BUMN masih menerima penyertaan modal negara (PMN).
Melambatnya penjualan eceran dapat menjadi indikasi bahwa rumah tangga sedang menahan konsumsi akibat tingginya tingkat inflasi dan suku bunga. Perlambatan ini dapat berlanjut hingga kuartal 1 2023 dan tentunya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh besarnya komponen konsumsi.
IMF memprediksi sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami resesi akibat dari AS, China, dan Eropa yang mengalami perlambatan ekonomi. Walaupun AS masih memiliki bantalan ekonomi berupa pasar tenaga kerjanya yang kuat, hampir setengah dari negara Eropa sangat terdampak oleh perang RUS-UKR. Sedangkan, China masih menghadapi pandemi COVID-19 yang menekan aktivitas ekonomi.
IMF menilai Indonesia memiliki fundamental yang kuat, sehingga mampu menghadapi risiko global dengan baik. IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, lebih tinggi dibandingkan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara maju sebesar 1,1% dan negara berkembang sebesar 3,7%.
Dengan kondisi AS seperti saat ini, resesi ekonomi ‘harus terjadi’ untuk menurunkan tingkat inflasi, dan dapat dikatakan terjadinya resesi pun merupakan sebab-akibat dari kebijakan Fed. Oleh karena itu, Fed juga menjadi pihak yang dapat meredakan efek dari resesi dengan melonggarkan kebijakan moneternya. Pelonggaran ini juga harus sesuai dengan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi, alias tidak terburu-buru.
Perekonomian AS yang mengalami penguatan dari sisi penciptaan lapangan kerja dapat menekan resesi AS mengalami shallow recession, yaitu resesi yang meluas namun tidak mendalam serta hanya berjangka waktu pendek.
Fed merevisi target inflasi di tahun 2023 dari 2,8% menjadi 3,1%. Hal ini menandakan bahwa Fed bersiap menaikkan suku bunga lagi di tahun ini, bertentangan dengan proyeksi dari analis dan pelaku pasar bahwa tahun ini Fed akan lebih optimis. Tingkat kenaikan suku bunga mendatang masih sulit diprediksi.
Investor asing cenderung memindahkan dana dari Indonesia dan India ke negara yang secara valuasi masih undervalued, seperti China yang juga dilengkapi dengan kebijakan moneter yang ekspansif. Dengan kata lain, investor asing juga sedang melakukan profit taking karena IHSG merupakan salah satu indeks yang memberikan performa baik di tahun 2022.
Pemerintah China tengah mempertimbangkan target defisit 3% dari GDP untuk tahun 2023, lebih besar dibandingkan tahun 2022 sebesar 2,8%, namun lebih kecil dibandingkan tahun 2020 sebesar 3,6%. Defisit ini untuk mendorong pemulihan ekonomi yang juga didukung dengan penerbitan tambahan pada obligasi khusus.
Pertama kalinya sejak tahun 1982, Jepang mengalami lonjakan inflasi sebesar 4%, di atas konsensus sebesar 3,8%. Hal ini mendorong terbentuknya spekulasi bahwa BoJ akan melakukan penyesuaian kebijakan kembali.
Lihat Blog Lainnya
Emas Berkilau, Tanda Resesi Sudah Tiba?
Banyak peribahasa atau ungkapan yang melibatkan si emas, baik untuk membandingkan atau memuji, seperti anak emas, kesempatan emas, dan yang lainnya. Sejak zaman dahulu, emas menarik perhatian dari berbagai peradaban. Padahal, peradaban tersebut tidak pernah bertemu dan dibatasi oleh wilayah dan bahasa, namun mereka sepakat bahwa kilaunya emas menarik hati mereka. Karakteristik dari emas juga sangat unik, warnanya tidak ternodai dan teroksidasi, serta dapat dibentuk menjadi berbagai barang unik yang indah. Tak heran apabila emas digunakan sebagai ungkapan untuk mengekspresikan sesuatu yang sangat indah atau spesial. Hingga pada 1500 SM, Mesir mendapatkan keuntungan dari limpahan emas, yang mendorong penggunaan emas sebagai alat tukar internasional. Melewati berbagai periode seperti Great Depression (Depresi Besar) dan Perang Dunia, emas menjadi salah satu alat pembayaran dan komoditas yang penting. Emas juga menjadi ‘moderator ekonomi’ pasca Perang Dunia II, karena berbagai negara sedang berupaya dalam menciptakan stabilitas ditengah inflasi dan tingkat utang yang tinggi.
Baca SelengkapnyaMarket Research 9 Januari 2023: January Effect?
Gagal melanjutkan rekor Desember hijau, IHSG berpotensi menguat pada bulan Januari dengan keberadaan dari January Effect (sejak tahun 2010 hingga tahun 2022, IHSG melemah sebanyak 4 dari 12 bulan Januari). BEI juga akan mengembalikan jam perdagangan dan batas auto reject menjadi peraturan sebelum pandemi. Berarti, ARA dan ARB akan menjadi simetris sebesar 35%. Pengusaha tetap menyiapkan rencana ekspansi dan tetap optimis memasuki tahun politik. Perekonomian Indonesia dapat dikatakan memiliki fundamental yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi diatas 5% pada tahun 2022 dan tingkat inflasi sebesar 5,51% YoY. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Baca SelengkapnyaInvesting through the Macroeconomic and Sectoral Perspective
Top-down analysis merupakan pendekatan investasi yang dimulai dari analisis makroekonomi, lalu diikuti dengan analisis sektoral dan pemilihan saham dalam sektor tersebut. Pada titik tengahnya, kita sebagai investor cukup terbantu oleh BEI yang membentuk indeks sektoral IDX Industrial Classification atau IDX-IC, yang berperan untuk mengklasifikasikan perusahaan tercatat berdasarkan eksposur pasarnya. Indeks sektoral berbeda dengan indeks seperti IHSG, LQ45, dan IDX30 yang cukup umum dikenal oleh pelaku pasar dan sering digunakan sebagai strategi indexing serta indeks acuan kinerja. Indeks sektoral dapat memberikan informasi bagi investor mengenai pandangan pelaku pasar terhadap perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam sektor yang sama, juga dapat memberikan informasi yang lebih mendalam. Apabila dibandingkan, indeks seperti IHSG sangat luas, dan IDX30 sangat spesifik terhadap kriteria tertentu. Sehingga, tolak ukur pertumbuhan sektor dapat dikaji berdasarkan pergerakan dari indeks sektoral.
Baca Selengkapnya