Emas Berkilau, Tanda Resesi Sudah Tiba?
Banyak peribahasa atau ungkapan yang melibatkan si emas, baik untuk membandingkan atau memuji, seperti anak emas, kesempatan emas, dan yang lainnya. Sejak zaman dahulu, emas menarik perhatian dari berbagai peradaban. Padahal, peradaban tersebut tidak pernah bertemu dan dibatasi oleh wilayah dan bahasa, namun mereka sepakat bahwa kilaunya emas menarik hati mereka. Karakteristik dari emas juga sangat unik, warnanya tidak ternodai dan teroksidasi, serta dapat dibentuk menjadi berbagai barang unik yang indah. Tak heran apabila emas digunakan sebagai ungkapan untuk mengekspresikan sesuatu yang sangat indah atau spesial. Hingga pada 1500 SM, Mesir mendapatkan keuntungan dari limpahan emas, yang mendorong penggunaan emas sebagai alat tukar internasional. Melewati berbagai periode seperti Great Depression (Depresi Besar) dan Perang Dunia, emas menjadi salah satu alat pembayaran dan komoditas yang penting. Emas juga menjadi ‘moderator ekonomi’ pasca Perang Dunia II, karena berbagai negara sedang berupaya dalam menciptakan stabilitas ditengah inflasi dan tingkat utang yang tinggi.
Tak disangka, emas yang menjadi kesukaan banyak orang karena kilauannya dan karakteristiknya, ternyata pengkoleksian besar-besaran menjadi salah satu tanda kegelapan ekonomi dunia sudah tiba, lho. Seperti yang kita ketahui, emas menjadi salah satu aset pilihan investor apabila adanya pandangan yang kurang baik pada ekonomi, alias bersikap pesimis. Emas juga menjadi aset lindung nilai (hedging) melawan tingkat inflasi. Karakteristik yang unik dari emas sebagai aset adalah nilainya yang tidak dapat diganggu gugat: bank sentral dan pemerintah (pada dasarnya) tidak dapat mengintervensi atau memengaruhi harga emas secara langsung.
Dengan pandangan tersebut, tahun 2023 dengan potensi resesi berskala global, terutama untuk negara besar seperti AS dan China serta negara-negara kawasan Eropa, maka emas menjadi salah satu investasi pilihan. China mulai membeli emas seberat 32 ton pada bulan November 2022, pembelian pertama sejak September 2019. Pembelian tersebut berlanjut sebesar 30 ton pada akhir Desember, sehingga total emas yang dimiliki oleh China adalah 62 ton. Tak tanggung-tanggung, WGC (World Gold Council) melaporkan bahwa berbagai bank sentral mulai melakukan pembelian emas dalam jumlah yang banyak sejak tahun 1967, dan Rusia juga menyaingi China sebagai pembeli terbesar. Total emas yang dibeli setara dengan 673 ton, dengan kuartal ketiga tahun 2022 saja, emas yang dibeli setara dengan 400 ton. Dengan tingginya jumlah pembelian terbesar sejak 55 tahun terakhir, apakah ini menandakan bahwa resesi bukan lagi menjadi sesuatu yang mendatang, namun ternyata sudah tiba?
Source: SayaKaya Research, Investing (XAU/USD).
Nilai emas dapat diukur melalui ukuran XAU/USD. XAU adalah kode untuk emas ‘yang dijadikan sebagai mata uang’ setara dengan 1 troy ons atau 31,1 gram emas. Sehingga, XAU/USD mengukur harga komoditas emas relatif terhadap nilai mata uang USD. Apabila diukur secara historikal, dapat diketahui bahwa XAU/USD berada di level 1.321 pada awal tahun 2019, dan mengalami kenaikan yang cukup tinggi hingga akhir tahun 2020. Memasuki tahun 2020, XAU/USD secara signifikan mengalami kenaikan. Mengapa? Karena pada saat itu COVID-19 mulai merajalela secara global, sehingga menciptakan perlambatan pada roda ekonomi baik untuk negara maju dan negara berkembang. Apabila roda ekonomi melambat, maka perekonomian negara sulit bertumbuh, sehingga akan tercipta resesi. Nilai emas masih cukup stagnan dan tidak menunjukkan tren penurunan yang cukup mendalam hingga memasuki tahun 2022, walaupun terdapat beberapa hambatan dalam menangani kasus COVID-19.
Pada pertengahan tahun 2022, pertama kalinya Fed mengumumkan kebijakan moneter yang kontraktif, harga emas pun mengalami penurunan bersamaan dengan koreksi pada pasar saham. Seiring dengan kenaikan suku bunga yang merata dan konsisten untuk beberapa waktu kedepannya, harga emas pun cenderung menurun. Penurunan ini juga tidak mendalam dan masih lebih tinggi dibandingkan permulaan tahun 2020, sehingga masih relatif lebih stabil. Namun, isu resesi pada negara besar pun mulai bermunculan, mengindikasikan perlambatan ekonomi tersebut juga akan berdampak secara global. Alhasil, harga emas pun mengalami kenaikan kembali, serupa dengan kondisi di tahun 2020. Faktanya, secara historikal, emas cenderung meningkat ketika adanya ketidakpastian atau kesulitan dalam perekonomian, yang berpotensi menimbulkan suatu krisis ekonomi. Pada tahun 2007–2008 dan 2019, harga emas mengalami kenaikan ketika Fed memotong suku bunga. Sehingga, dengan harga emas yang tidak menurun secara signifikan ketika Fed menaikkan suku bunga cukup tinggi di tahun 2022, menandakan bahwa permintaan emas sangatlah besar. Hal ini juga didukung oleh China dan Rusia yang cukup rajin dalam melakukan dumping dollar, sehingga penggunaan USD dalam transaksi perdagangan internasional semakin menurun dan digantikan dengan mata uang CNY. Harga emas pun berpotensi mengalami kenaikan yang lebih tinggi lagi apabila Fed memutuskan untuk menghentikan atau memotong tingkat suku bunganya, walaupun masih banyak faktor lain yang menjadi pertimbangan.
Secara umum, pergerakan harga emas dan saham mempunyai hubungan negatif, yang berarti bahwa apabila harga emas mengalami kenaikan, maka kondisi dari pasar saham cenderung sedang terkoreksi atau pelaku pasar saham sedang merasa pesimis. Hal ini pun menjadi penting untuk diketahui bagi para investor saham. Dengan harga emas yang masih terjaga dan memiliki potensi untuk melanjutkan kenaikan, maka dapat ditarik suatu insight bahwa masih terdapat potensi pelemahan pada pasar saham di jangka waktu mendatang, karena emas menjadi instrumen investasi yang menarik di tengah kondisi ekonomi seperti saat ini. Sehingga, bagi investor saham maupun reksadana saham, penurunan ini dapat menjadi suatu kesempatan untuk menambah investasi.
Namun, jangan lupa untuk menetapkan target dan jangka waktu masing-masing investor dalam berinvestasi. Tentunya, penambahan investasi juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lainnya, seperti kondisi ekonomi dan profil risiko, agar kita tidak langsung tergiur pada penurunan harga saham dan menangkap pisau yang jatuh. Jangan lupa juga untuk stay updated dengan kondisi perekonomian saat ini.
Happy investing!
Disclaimer: Analisis dan informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
Market Research 9 Januari 2023: January Effect?
Gagal melanjutkan rekor Desember hijau, IHSG berpotensi menguat pada bulan Januari dengan keberadaan dari January Effect (sejak tahun 2010 hingga tahun 2022, IHSG melemah sebanyak 4 dari 12 bulan Januari). BEI juga akan mengembalikan jam perdagangan dan batas auto reject menjadi peraturan sebelum pandemi. Berarti, ARA dan ARB akan menjadi simetris sebesar 35%. Pengusaha tetap menyiapkan rencana ekspansi dan tetap optimis memasuki tahun politik. Perekonomian Indonesia dapat dikatakan memiliki fundamental yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi diatas 5% pada tahun 2022 dan tingkat inflasi sebesar 5,51% YoY. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Baca SelengkapnyaInvesting through the Macroeconomic and Sectoral Perspective
Top-down analysis merupakan pendekatan investasi yang dimulai dari analisis makroekonomi, lalu diikuti dengan analisis sektoral dan pemilihan saham dalam sektor tersebut. Pada titik tengahnya, kita sebagai investor cukup terbantu oleh BEI yang membentuk indeks sektoral IDX Industrial Classification atau IDX-IC, yang berperan untuk mengklasifikasikan perusahaan tercatat berdasarkan eksposur pasarnya. Indeks sektoral berbeda dengan indeks seperti IHSG, LQ45, dan IDX30 yang cukup umum dikenal oleh pelaku pasar dan sering digunakan sebagai strategi indexing serta indeks acuan kinerja. Indeks sektoral dapat memberikan informasi bagi investor mengenai pandangan pelaku pasar terhadap perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam sektor yang sama, juga dapat memberikan informasi yang lebih mendalam. Apabila dibandingkan, indeks seperti IHSG sangat luas, dan IDX30 sangat spesifik terhadap kriteria tertentu. Sehingga, tolak ukur pertumbuhan sektor dapat dikaji berdasarkan pergerakan dari indeks sektoral.
Baca SelengkapnyaMarket Research 30 Desember 2022: Mixed Economy Condition
Potensi pencabutan PPKM di Indonesia menjadi katalis positif untuk perekonomian Indonesia. Bersamaan dengan tahun politik dan insentif akhir tahun, konsumsi domestik yang menyumbang hingga 50% dari GDP Indonesia diperkirakan meningkat dan mendorong penerimaan PPN dalam negeri. Namun, ini dapat memicu inflasi pada jangka pendek. Bank Indonesia pun merespon kebijakan Fed dengan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps untuk menjaga potensi pertumbuhan dan likuiditas ekonomi. Selain itu, kenaikan yang lebih kecil bertujuan untuk menciptakan keleluasaan dalam merespon potensi agresivitas kenaikan suku bunga oleh Fed. Terlepas dari kenaikan suku bunga, KPR dan KKB masih bertumbuh dengan meningkatnya permintaan dan pendapatan masyarakat. Menutupi tahun 2022, berikut merupakan market updates domestik dan global:
Baca Selengkapnya