Karunia Ketidaksempurnaan
Di satu WAG (Whatsapp Group) geng teman-teman eks bankir, ada yang nyeletuk bilang bahwa di era Covid ini, kita bukan cuma susah dan senang bersama, tapi juga bingung bersama.
Gimana nggak bingung, informasi soal obat dan vaksin saja begitu beragam. Belum lagi soal vitamin dan opini tentang jam paling pas untuk jemur-jemur, dan banyak hal lain seputar Covid. Pendapat dari orang-orang pintar pun bisa sangat kontras perbedaannya. Banyak bermunculan ahli obat, vaksin, vitamin, dan jam berjemur dadakan. Information overload at its finest. Makin bingung.
Dengan kata lain, kita semua merasa vulnerable. Merasa tidak berdaya. Sayangnya, rasa tidak berdaya ini sering terasa menakutkan, atau paling tidak, terasa tidak nyaman.
“Vulnerability is about having the courage to show up and be seen.”
Brene Brown, The Gifts of Imperfection
Siapa sih yang ingin menunjukkan vulnerability di hadapan orang lain? Bukankah kita tidak mau terlihat lemah dan tidak gagah perkasa? Padahal kalau dipikir-pikir, belum tentu orang di depan kita sedang judging atau berpikir buruk tentang kita. Kita saja yang GR. Paling mungkin, mereka sedang berpikir tentang diri mereka sendiri. Buktinya kalau kita lagi lihat foto bersama teman-teman, yang pertama kita lihat adalah foto diri kita sendiri?
Mike Robbins, penulis buku Bring Your Whole Self To Work, berpendapat bahwa vulnerability bukanlah sesuatu yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak mudah. Apa yang menyebabkan vulnerability itu tidak mudah? Dalam level yang lebih dalam, kita pernah mengalami kepahitan dalam hidup, kekecewaan dan patah hati. Karena kita sangat mendambakan sesuatu, dan kehilangan hal tersebut. Hal ini membuat vulnerability begitu sulit.
Daripada larut dalam aspek tidak nyaman dan khawatir akan judgement orang lain, saya berpikir mungkin momen bingung bersama ini bisa menjadi saat yang tepat untuk belajar tentang manfaat vulnerability dalam hidup. Termasuk juga manfaat vulnerability dalam berinvestasi. Can’t beat ’em? Join ’em lah.
Buat saya pribadi, vulnerability memberikan peringatan pada saya untuk tidak merasa lebih baik atau lebih pintar daripada orang lain. Di hadapan Covid, kita semua vulnerable. Tidak pandang bulu jabatan atau harta seseorang. Vulnerability membuat kita tersadar bahwa menjadi seorang boss itu hanyalah sebuah pekerjaan, yang tentunya tidak kekal.
Vulnerability juga mengingatkan saya akan pentingnya empati. Terkadang karena mau sok “profesional” dalam pekerjaan, saya melibas empati di dalam diri. Mengutip Kim Scott di bukunya Radical Candor, hasil akhir budaya sok profesional — menekan empati adalah tidak ada orang di kantor kita yang merasa nyaman menjadi diri sendiri di dalam pekerjaan.
Pengakuan akan rasa vulnerability bermuara pada penciptaan suatu ruang di mana kita semua di dalam organisasi akan merasa nyaman untuk mengakui bahwa kita semua ….. vulnerable. Dan pengakuan ini akhirnya berbuah pada kesediaan untuk menjadi diri sendiri seutuhnya.
Menjadi diri sendiri seutuhnya ini adalah elemen penting untuk membangun sebuah relationship di dalam tim. Kepedulian yang paling tulus, mencari waktu untuk berbicara secara mendalam dengan sesama anggota tim, saling mengenal pada level yang manusiawi dan bukan superfisial, memahami apa yang paling penting bagi orang di sekitar kita. Semua elemen ini dimungkinkan saat kita menjadi diri kita seutuhnya.
Di tahun 2012–2014, Google pernah melakukan studi mendalam yang mereka namakan Project Aristotle. Proyek ini mencoba untuk mencari tahu apa yang membuat performa suatu tim begitu kinclong. Sampel datanya besar, 180 tim di dalam Google. Hasilnya menarik.
Yang mereka temukan adalah elemen paling penting dalam sukses sebuah tim adalah yang namanya rasa aman secara psikologis. Sebuah kultur di mana trust begitu menjadi warna. Anggota tim tidak takut untuk mengemukakan apa yang ada di benak mereka, mengambil risiko, atau dipermalukan kalau membuat kesalahan atau proyeknya gatot; gagal total.
Menerima vulnerability secara seutuhnya adalah bagian dari langkah penting untuk mencapai rasa aman secara psikologis ini. Saling challenge di antara anggota tim menjadi mungkin. Terlebih lagi, semangat saling challenge ini tidak hanya sangat penting bagi tim untuk menghasilkan karya hebat, tetapi juga untuk membangun relationship yang dalam di antara anggota tim. Karena anggota tim akan menerjemahkan challenge ini sebagai bentuk kepedulian tertinggi pada sesama anggota tim.
Lagipula, kita tidak mungkin meraih keberanian tanpa menerima sepenuhnya vulnerability. Keberanian ini memungkinkan kita untuk melanjutkan hidup dengan cinta, pengertian, rasa syukur, hening, dan kebahagiaan.
Saya juga belajar dari pandemi ini bahwa aspek vulnerability sangat relevan dalam kehidupan berinvestasi, apalagi di era investasi teknologi. Aset utama perusahaan teknologi seringkali bukan fixed assets, melainkan orang, nilai dan budaya perusahaan, dan misi-visi organisasi.
Konsekuensinya adalah dalam berinvestasi, saya akan berfokus pada perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang berani untuk merangkul vulnerability. Karena tipe CEO ini cenderung lebih bersedia untuk mengakui ketidaksempurnaan. Dan harus terus belajar dan bertumbuh sebagai konsekuensinya. Kalau CEO dan anggota timnya bertumbuh, seharusnya besar kemungkinan investasi kita akan terus bertumbuh?
Di dunia institusi, menerima vulnerability akan membantu mengurangi risiko groupthink dalam berinvestasi, tapi ini mungkin untuk pembahasan lain waktu.
Ok….Covid-19 sucks. Tapi daripada gabut dan bingung bersama, saya akan mencoba memilih untuk berfokus pada hal-hal baik yang menjadi efek samping dari pandemi ini, misalnya merangkul vulnerability saya. Bagaimana memulainya? Mungkin dengan memulai melihat ketidaksempurnaan saya sebagai sebuah karunia.
“You’re living your life as though you’re trying to survive it, but you have to remember something very important. No one has.”
Mike Robbins, Bring Your Whole Self To Work
Yellow forsythia in a cleared-vase on a white marble floor by a white curtain
Lihat Blog Lainnya
It’s the Climb, Champ!
Rabu minggu lalu, saya sempatkan nonton acara IG Live. Kali ini topiknya bukan tentang investasi melainkan perbincangan seru seputar gowes oleh tiga orang istimewa: Oriana Titisari dari Sucor Asset Management, Adrianus Bias — bos riset Sucor Sekuritas, dan bintang tamunya John Boemihardjo.
Baca SelengkapnyaApa Benar Biaya Hidup itu Murah?
Lagi-lagi saya tergelitik karena post salah satu influencer dan “edukator” saham. Katanya, biaya hidup itu sebenarnya murah. Benarkah?
Baca SelengkapnyaMales Sih Lo!
Belakangan lagi heboh banget soal financial influencer mengomentari suatu tweet dari Dea Anugrah, jurnalis yang saya sangat hormati karyanya.
Baca Selengkapnya