Jalan Ninja Menuju Mimpi
(This is Your Life... Own It!)
Kamu bukanlah pekerjaan kamu
Kamu bukanlah jumlah uang kamu di bank
Kamu bukanlah mobil yang kamu kendarai
Kamu bukanlah apa yang ada di dompetmu.
Kata-kata di atas saya pinjam dari film Fight Club. Semuanya masuk akal, semuanya saya setuju. Juga sangat membakar semangat, untuk menjadi lebih bahagia dan lebih baik.
Lantas waktu saya baca buku When to Jump-nya Mike Lewis, ada kata-kata berikut yang juga sangat menginspirasi:
Jangan terlalu takut untuk bahagia
Jump untuk sesuatu yang bisa bikin kita semangat di pagi hari.
Nilai sebuah pekerjaan yang membuat kita bahagia adalah… tidak terhingga.
Ini semua adalah kisah-kisah mereka yang mengejar dan mewujudkan renjananya (atau passion-nya), demi mengejar kepuasan dalam hidup dan tentunya kebahagiaan.
Tidak ada yang salah. Hanya saja sebagai investor di market, kita selalu dibiasakan berpikir dalam kerangka risk-reward.
Risikonya di mana? Bukan soal tagihan yang masih harus dibayar saat sibuk mewujudkan passion kita. Mungkin berjuang dengan tagihan yang harus tetap dibayar adalah harga yang layak dibayar untuk merealisasikan impian kita. Karena kita sedang menulis lembaran demi lembaran kisah hidup. Tentunya kita tidak mau suatu hari nanti menyesal saat menoleh ke belakang karena tidak pernah mencoba mewujudkan passion dan impian kita.
Jadi risikonya di mana?
Ada dua risiko mengejar passion, dalam pandangan saya. Yang pertama adalah passion ini sering suka meleleh setelah jangka waktu tertentu. Terutama kalau kita gagal mendapatkan feedback positif atas hasil karya yang menjadi passion kita.
Yang kedua, passion market adalah market yang paling kompetitif di dunia. Karena semua pesertanya bersedia untuk berkorban lahir batin supaya tidak lagi takut untuk berbahagia. Perlu disiplin, pengorbanan, dan kesiapan mental yang luar biasa.
Kedua risiko ini membuat kita berpikir, ada nggak ya jalan tengah? Mewujudkan passion, tapi mengelola risikonya. Kisah perjalanan hidup aktor Arnold Schwarzenegger mungkin bisa menjadi inspirasi untuk menjawab pertanyaan ini.
Dalam wawancaranya dengan Tim Ferriss, Arnold bercerita tentang kisah dan filosofi hidupnya. Ada satu aspek yang super menarik dalam perjalanan karier Arnold.
Dalam membangun mimpinya untuk menjadi seorang aktor film, Arnold mengambil langkah berbeda dengan banyak anak muda lain dengan aspirasi yang sama. Kenyataannya adalah bahwa kebanyakan orang dengan cita-cita serupa harus hidup dalam banyak keterbatasan. Buat yang sudah nonton La La Land pasti langsung paham. Waitressing adalah salah satu pilihan populer sambil menunggu keberuntungan mampir berkunjung.
Sayangnya, hidup dengan cash flow serba mepet tidak memungkinkan aspiring movie star untuk bisa terlalu bersabar memilih-milih peran yang sesuai pilihan hati dan strategi karier. Akibatnya, idealisme dipinggirkan dan peran apa saja disabet. Lupa pada passion yang menjadi titik awal karier. Perjalanan karier pun suka jadi berantakan karena resume babak belur.
Arnold memilih strategi berbeda. Ia rajin menyisihkan sedikit uang yang dihasilkannya hasil dari karier di bodybuilding serta jualan seminar dan kursus via surat menyurat. Dana yang berhasil ditabung ini ia pakai untuk uang muka beli apartemen. Dengan situasi makro tahun 1970-an di mana inflasi sedang menggila, beli apartemen ini ternyata menjadi pilihan tepat.
Hanya dalam setahun, nilai uang muka apartemen ini sudah naik 3 kali lipat. Arnold tidak berhenti di sini. Proses ini ia lakukan berulang kali sampai ia menjadi miliuner dan bisa menunggu sampai peran yang tepat akhirnya tiba. Arnold bahkan tidak perlu dan tidak pernah ikut audisi.
Prinsip Arnold Schwarzenegger dalam bernego peran adalah “In my negotiation, he who cares the least wins”. Pura-pura nggak butuh, untuk menaikkan daya jual, kurang lebih begitu.
Cash flow dari investasi properti membuat Arnold mampu menunggu sampai hokinya tiba. Tak lama, karier Arnold melejit lewat Conan the Barbarian. Ia berinvestasi, supaya ia bisa take care apa yang menjadi passion-nya.
Dalam pandangan saya, Arnold Schwarzenegger bisa mengaplikasikan delayed gratification. Menunda kesenangan demi mewujudkan mimpi. Sedikit uang yang dihasilkan tidak ia pakai foya-foya, tapi diinvestasikan. Bagaimana ia berinvestasi juga menarik.
Arnold memilih berkonsentrasi pada ide-ide besar, yaitu melihat tren inflasi yang sedang menjadi warna utama di era 1970-an dan mencari investasi yang selaras dengan arus besar ini. Mungkin kita juga harus bertanya, apa ide dan tren besar di era ini?
Arnold juga memilih untuk memiliki hidup yang menggairahkan, yang dilakukannya dengan memilih untuk terus mengambil risiko secara intelektual. Di era pandemi ini, banyak dari kita jadi tersadar bahwa kita sebenarnya ingin memiliki hidup yang menggairahkan. Buktinya? Kita sudah bosan banget tinggal di rumah. KIta rindu aktivitas sehari-hari. Kita juga tersadar bahwa bermalas-malasan di rumah ternyata membutuhkan “skill” yang luar biasa, karena sungguh sangat tidak mudah buat dilakukan.
Pilihan film-film dan perjalanan karier Arnold menggambarkan pilihan hidupnya. Film Twins misalnya, adalah suatu bentuk terobosan secara tematik dan struktur pendanaannya. Soal karier juga sangat berwarna, dari bodybuilder, aktor, masuk politik dan akhirnya menjadi Gubernur California, penulis, dan pengusaha. Tidak akan ada yang berani bilang bahwa Arnold tidak berani untuk berbahagia.
Mungkin perjalanan hidup Arnold Schwarzenegger bisa menjadi inspirasi dalam memperjuangkan sebuah passion, sambil tetap mampu mengelola risiko kita. Bagaimana ia membangun hidupnya dan mengejar mimpi, bisa dicerminkan dari quote berikut:
“This is your life and it’s ending one moment at a time”
Fight Club
Tapi dalam mengejar mimpi ini, saya belajar bahwa Arnold mengimbanginya dengan prinsip sederhana “Stop whining.”
Delay gratification, kerja keras, menunda kesenangan dulu sejenak. Dan mulai berinvestasi. Capek, pasti. Butuh kesabaran, jelas. Tidak ada yang bilang rutenya mudah. Tapi saat garis finish sudah di depan mata, kita akan jadi manusia yang paling bahagia. Ternyata ada jalan ninja menuju mimpi.
Lihat Blog Lainnya
Karunia Ketidaksempurnaan
Di satu WAG (Whatsapp Group) geng teman-teman eks bankir, ada yang nyeletuk bilang bahwa di era Covid ini, kita bukan cuma susah dan senang bersama, tapi juga bingung bersama.
Baca SelengkapnyaIt’s the Climb, Champ!
Rabu minggu lalu, saya sempatkan nonton acara IG Live. Kali ini topiknya bukan tentang investasi melainkan perbincangan seru seputar gowes oleh tiga orang istimewa: Oriana Titisari dari Sucor Asset Management, Adrianus Bias — bos riset Sucor Sekuritas, dan bintang tamunya John Boemihardjo.
Baca SelengkapnyaApa Benar Biaya Hidup itu Murah?
Lagi-lagi saya tergelitik karena post salah satu influencer dan “edukator” saham. Katanya, biaya hidup itu sebenarnya murah. Benarkah?
Baca Selengkapnya