How much is too much?
Ketertarikan saya terhadap sepak bola sebenarnya cukup netral, namun ketika final Argentina melawan Prancis, saya tidak bisa tidur nyenyak pada malam itu karena mengetahui Messi dan Mbappé–dua pemain sakti yang juga satu klub–akan bertarung memperebutkan piala emas bergengsi tinggi. Dua gol pertama dicetak oleh Argentina, pikir saya, “Harusnya mudah bagi Argentina atau Messi untuk mencetak skor ketiganya?”. Pasti semua fans Argentina merasa kemenangan sudah di tangan para fans. Hingga… keadaan berbalik menjadi seimbang. Bayangkan, Mbappé melakukan gol dua kali dalam waktu kurang dari 1 menit! Dunia pasti terkejut, kedua fans pun pasti deg-degan. Pikir saya, harusnya mudah bagi Argentina mengamankan posisinya dengan gol ketiga setelah mencetak dua gol secara beruntun. Namun, diluar dugaan, saya baru disadarkan kembali oleh kemampuan Mbappé yang lihai, patut menjadi salah satu pemain termahal di dunia. Saya pun berpikir kembali, seharusnya mudah bagi Prancis atau Mbappé untuk mencetak skor ketiga. Ternyata, pertandingan dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu. Gol ketiga akhirnya dicetak oleh Messi. Wah, fans Argentina pasti bisa tidur nyenyak malam ini. Tiba-tiba, Mbappé menunjukkan kepiawaiannya lagi, menyeimbangkan skor Prancis dengan Argentina. Wah, walaupun sudah mencetak gol secara beruntun dan berkali-kali, tidak mudah juga rupanya bagi mereka yang sudah lama bertarung di lapangan hijau untuk menjaga konsistensi tersebut.
Saya kira pada saat itu, pencetakan gol secara beruntun adalah suatu hal yang luar biasa dan mudah dilakukan, hingga saya berpikir pasti tidak sulit bagi Messi dan Mbappé untuk mencetak gol selanjutnya. Mengapa? Simpel, karena saya saksikan mereka sudah bisa mencetak gol sebanyak dua kali, pasti gol ketiganya bisa. Ternyata, saya terjebak dalam bias yang disebut hot hand fallacy. Agar mudah dipahami, hot hand fallacy terjadi apabila kita sebagai penonton percaya bahwa pemain ataupun tim favorit kita yang telah sukses mencetak gol (mengalami kesuksesan), akan kembali melanjutkan kesuksesannya lebih mudah. Ini merupakan fenomena psikologis yang cenderung muncul pada dunia olahraga, khususnya basket. Faktanya, fenomena ini juga bisa memengaruhi kita sebagai investor, lho.
Fenomena ini mendorong kita untuk percaya lebih besar pada peristiwa atau event yang sedang terjadi dalam jangka waktu dekat dibandingkan percaya pada hal yang bersifat objektif dan historikal. Nyatanya, cukup banyak investor yang percaya bahwa kenaikan dari suatu saham pada periode yang pendek akan tetap berlanjut di masa yang akan datang. Alhasil, banyak juga investor yang merugi karena harga sahamnya mulai mengalami penurunan. Contoh lain, investor mungkin telah melakukan pemilihan saham yang sesuai dengan investment style-nya, dan akhirnya mendapatkan keuntungan pada kenaikan harga saham tersebut. Karena sudah floating profit dan harganya cenderung naik terus menerus, investor pun menjadi ‘rakus’ dan tidak mengamankan keuntungannya, alias hold karena percaya tren kenaikannya akan berlanjut. Tiba-tiba, harga saham tersebut pun menurun secara gradual dan floating profit yang menjadi potensi kita berkurang, bahkan menghilang atau metamorfosis menjadi floating loss. Sebaliknya, ada juga kemungkinan ketika saham yang kita hold mengalami penurunan, lalu kita percaya bahwa tren tersebut akan berlanjut, sehingga kita memutuskan untuk cut loss. Esok harinya, harga saham langsung meningkat secara signifikan. Sehingga kita kehilangan potensi realized gain kita. Sayang, kan? Bayangkan, melalui tiga skenario itu saja, kita bisa mengambil tindakan investasi yang kurang tepat, seperti menjual atau membeli terlalu cepat, bahkan menangkap pisau yang jatuh.
Faktanya, hot hand fallacy menjadi salah satu fenomena yang memicu terjadinya Global Financial Crisis, salah satu krisis keuangan terbesar di tahun 2007–2008. Ketika harga rumah di AS mengalami kenaikan yang signifikan, persyaratan kredit yang tidak ketat, serta kenaikan pada jumlah subprime mortgage (KPR yang diberikan kepada konsumen yang secara kelayakan kredit kurang dari minimum), real estat AS menjadi favorit karena mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Banyak pelaku pasar hingga profesional yang merasa kenaikan ini akan berlanjut terus menerus. Ibarat sebuah gelembung, apabila ditiup terus menerus, maka gelembung tersebut akan meletus atau burst. Ini yang disebut sebagai bubble dalam dunia keuangan. Burst pada saat itu menyebabkan crash pada ekonomi AS, yang memengaruhi perekonomian negara lain juga.
Pada pertandingan final Pesta Bola Dunia, saya hanya berfokus pada kemungkinan kedua striker mencetak gol selanjutnya dan mengabaikan faktor-faktor lainnya yang sebenarnya berpengaruh di lapangan, seperti pemain back, keeper, hingga taktik atau strategi yang ditunjukkan oleh kedua negara kepada saya sebagai penonton. Ini menjadi penting bagi investor untuk memperhatikan aspek-aspek yang memengaruhi pemilihan aset, pergerakan harganya, hingga strategi untuk konsentrasi atau diversifikasi. Tentunya, ini dilakukan agar investasi kita sesuai dengan style kita secara subjektif, dan rasional secara objektif agar menciptakan imbal hasil yang sesuai dengan risiko yang kita hadapi.
Happy investing!
Disclaimer: Informasi yang terkandung dalam artikel ini mengandung opini yang bersifat subjektif dan berperan sebagai edukasi. Keputusan dan hasil dari investasi merupakan risiko dan tanggung jawab dari masing-masing investor.
Lihat Blog Lainnya
ESG Investing: Gain From Sustainability
Strategi investasi berbasis ESG atau impact investing menjadi tren yang berkembang secara signifikan. Keberlanjutan dan ekonomi hijau menjadi kesadaran bagi para pelaku usaha dan pasar modal, baik secara domestik maupun global. Seiring berkembangnya jumlah investor, maka investasi berbasis keberlanjutan juga semakin umum diterapkan oleh retail maupun fund managers. Lalu, apa yang menjadikan ESG sebagai salah satu faktor dalam berinvestasi?
Baca SelengkapnyaMarket Research 20 Desember 2022: Worst is yet to come
Imbas penurunan harga akibat panic selling dan risk-off sentiment pada negara berkembang, peta kapitalisasi pasar di Indonesia berubah, sehingga emiten big caps penggerak indeks menjadi menarik, terutama sektor energi dan pertambangan yang menjalankan berbagai aksi ekspansif. Untuk mendukung daya tahan ekonomi dan mendorong tingkat permintaan, Indonesia dinilai membutuhkan normalisasi fiskal, sedangkan saat ini AS mengalami defisit anggaran yang lebih besar. Pada minggu ketiga di bulan Desember 2022, berikut merupakan market updates secara domestik maupun global:
Baca SelengkapnyaIn a Blink of an Eye...
Source: Pasardana, JCI measured from Jan-2020 to Dec-2022
Baca Selengkapnya