Market Research 23 Januari 2023: Gold Shines

World Economic Forum (WEF) menyatakan bahwa risiko global terbesar selama 2 tahun kedepan adalah krisis biaya hidup. Hal ini didorong oleh pelemahan daya beli dari masyarakat yang melanda sejumlah negara, terutama negara yang berpenghasilan menengah dan rendah. Indonesia sendiri, WEF menilai ada 5 risiko yang harus dihadapi: 1) krisis utang; 2) konflik kepentingan; 3) kenaikan inflasi; 4) ketimpangan digital; 5) kontestasi geopolitik. Berikut merupakan market updates secara domestik dan global:
Melambatnya penjualan eceran dapat menjadi indikasi bahwa rumah tangga sedang menahan konsumsi akibat tingginya tingkat inflasi dan suku bunga. Dari sisi produsen, kenaikan harga jual masih cenderung ditahan agar menjaga nilai omzet meskipun biaya bahan baku dan proses produksi mengalami kenaikan.
Bank Indonesia dan pemerintah akan menggencarkan Dana Hasil Ekspor (DHE) lebih banyak berada di perbankan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan cadangan devisa Indonesia untuk mengimbangi USD, sekaligus memperkuat nilai tukar Rupiah. BI pun menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,75%.
Untuk mempertahankan kinerja ekspor mendatang, pemerintah dapat mengupayakan perluasan pasar ekspor non-tradisional (negara berkembang), mengingat bahwa pasar ekspor tradisional (negara maju) berpotensi mengalami resesi. Utang pemerintah pada akhir tahun 2022 menyentuh IDR 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap GDP mencapai level 39,57%,
Peringkat Indonesia yang masih dinilai stabil menjadi keunggulan negara dalam menghadapi ketidakpastian global. Fitch memberikan rating BBB (investment grade), dan S&P meningkatkan rating dari negatif menjadi stabil. Rating tersebut didasari atas prospek pertumbuhan ekonomi yang baik dan konsolidasi kondisi fiskal pemerintah. Instrumen fiskal yang fleksibel di tengah kebijakan moneter yang kontraktif dapat meminimalisir dampak resesi Indonesia dari negara besar.
Terlepas dari kenaikan pada GDP Indonesia, ketimpangan pendapatan antar kelas ekonomi semakin besar (diukur dari indeks Gini yang mengalami kenaikan). Pemerintah diharapkan dapat memberikan safety net untuk mempersempit ketimpangan tersebut, seperti peningkatan SDM, pemberian kredit usaha mikro dan kecil, dan pemberdayaan untuk masyarakat yang secara pendapatan berada di tingkat bawah.
Terdampak dari efek multiplier, konsumsi rumah tangga akan meningkat dan menjadi penggerak ekonomi tahun ini, dengan proyeksi pertumbuhan hingga 5,28% YoY. Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, pemilu sangat menguntungkan dengan adanya program bansos dan belanja pemerintah. Bertolak belakang, masyarakat menengah ke atas akan bersikap wait and see untuk konsumsi barang-barang mahal dan berinvestasi.
Di AS, perbankan besar cenderung mencatatkan kinerja yang kurang baik akibat perlambatan ekonomi dan kenaikan suku bunga yang menekan pertumbuhan kredit. Hal ini mendorong perbankan untuk meningkatkan pencadangan dan efisiensi biaya serta PHK.
Tren kenaikan harga emas akibat resesi global diproyeksikan akan tetap berlanjut, namun akan mengalami hambatan berdasarkan keputusan dari Fed mengenai kenaikan suku bunganya. Apabila kenaikannya besar, maka terdapat potensi bahwa emas akan stagnan atau bahkan menurun, karena US Treasury memberikan imbal hasil yang lebih menarik dibandingkan emas.
Inflasi AS mencatatkan penurunan ke level 6,5% YoY pada bulan Desember 2022, menjadi yang terendah sepanjang tahun 2022. Apabila dibandingkan secara bulanan, maka AS mengalami deflasi sebesar 0,1%. Inflasi inti mengalami kenaikan 0,3%, sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar dan dapat menjadi pertimbangan Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga.
Jepang yang mengalami kenaikan inflasi memengaruhi belanja rumah tangga dan lapangan kerja. Dengan rumah tangga yang tidak membelanjakan uangnya dan perusahaan semakin membebankan biaya lebih tinggi ke konsumen, maka perekonomian Jepang akan lebih sulit untuk bertumbuh dan inflasi bisa menuju ke level yang lebih tinggi lagi. Jepang pun mempertahankan posisi dovish-nya.
Indonesia menyambut ajakan Malaysia dalam gagasan penghentian ekspor minyak sawit ke Uni Eropa. Malaysia ingin melakukan blokir ekspor CPO ke Uni Eropa sebagai balasan dari diterapkannya peraturan bebas produk hasil deforestasi. Hal ini dapat memperkuat posisi Malaysia dan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia dan dapat menurunkan daya saing di pasar global.
Nilai Rupiah mulai menunjukkan penguatan yang cukup besar dibandingkan terhadap nilai USD. Hal ini disebabkan oleh adanya isu Fed yang tidak lagi agresif dalam menaikkan suku bunga, didukung dengan fundamental ekonomi Indonesia yang baik dan reopening dari ekonomi China. Selain itu, investor juga melakukan penjualan USD sebagai respon dari isu tersebut. Di sisi lain, AUD dan CNY mengalami penguatan. Tren pelemahan USD dapat menjadi salah satu tren pada tahun 2023.